Model Pembelajaran Bermain Peran (Role Playing)
Bermain Peran (Role Playing) |
A. Pengertian Model Pembelajaran Bermain Peran
Menurut roestiyah (1991) role playing ialah siswa bisa berperan atau memainkan peranan dalam dramatisasi masalah sosial/psikologis itu. Karena itu kedua teknik ini hampir sama, maka dapat di gunakan bergantian tidak ada salahnya.
Menurut Martinis yamin(2010) bermain peran adalah metode yang melibatkan interaksi antara dua siswa atau lebih tentang suatu topik atau situasi. Siswa melakukan peran masing sesuai dengan tokoh yang ia lakoni, mereka berinteraksi sesama meraka melakukan peran terbuka. Metode ini dapat dipergunakan di dalam mempraktik isi pelajaran yang baru, mereka diberi kesempatan seluas-luasnya untuk memerankan sehingga menemukan kemungkinan masalah yang akan dihadapi dalam pelaksanaan sesungguhnya. Metode ini menuntutkan guru untuk mencermati kekurangan dari peran yang diperagakan siswa.
Role playing mengeksplorasi bagaimana nilai nilai mendorong perilaku dan menaikkan kesadaran siswa tentang peran nilai-nilai dalam kehidupan mereka dan kehidupan orang lain. Pengaruh langsungnya jauh lebih memahami dan berempati dengan perbedaan-perbedaan pada nilai-nilai ketika orang-orang berinteraksi. Pengaruh langsung lain adalah strategi-strategi untuk memecahkan konflik dengan gaya yang menghormati sudut pandang yang berbeda tanpa menyerah akan kebutuhan bagi kesepakatan akan nilai-nilai kemanusiaan.
Bermain peran sebagai model pengajaran berakar pada dimensi pendidikan pribadi dan sosial. Bermain peran berusaha untuk membantu individu menemukan makna personal dalam dunia sosial mereka dan memecahkan dilema personal dengan bantuan kelompok sosial. Dalam dimensi sosial, ia memungkinkan individu untuk bekerja bersama dalam menganalisis situasi sosial, khususnya masalah antar pribadi, dan dalam mengembangkan cara yang demokratis dan pantas dalam menangani situasi-situasi tersebut. Maka suatu kewajaran jika menempatkan bermain peran dalam kelompok model sosial karena kelompok sosial memainkan bagian yang diperlukan dalam perkembangan manusia dan karena peluang unik yang ditawarkan bermain peran untuk mengatasi dilema antarpribadi dan sosial.
Model ini, Pertama, dibuat berdasarkan asumsi bahwa sangatlah mungkin menciptakan analogi otentik ke dalam suatu situasi permasalahan kehidupan nyata. Kedua, bahwa bermain peran dapat mendorong siswa mengekspresikan perasaannya dan bahkan melepaskan. Ketiga, bahwa proses psikologis melibatkan sikap, nilai, dan keyakinan (belief) kita serta mengarahkan pada kesadaran melalui keterlibatan spontan yang disertai analisis. Model ini dipelopori oleh George Shaftel.
Dalam kehidupan nyata, setiap orang mampu cara yang unik dalam berhubungan dengan orang lain. Masing-masing dalam kehidupan memainkan sesuatu yang dinamakan peran. Oleh karena itu, untuk dapat memahami diri sendiri dan orang lain (masyarakat) sangatlah penting bagi kita untuk menyadari peran dan bagaimana peran tersebut dilakukan. Untuk kebutuhan ini, kita mampu menempatkan diri dalam posisi atau situasi orang lain dan mengalami/mendalami sebanyak mungkin pikiran dan perasaan orang lain tersebut. Kemampuan ini adalah kunci bagi setiap individu untuk dapat memahami dirinya dan orang lain yang pada akhirnya dapat berhubungan dengan orang lain (masyarakat).
B.Tujuan Dan Asumsi Pembelajaran Bermain Peran (Role Playing)
Inti bermain peran adalah keterlibatan peserta dan pengamat dalam situasi masalah sebenarnya dan keinginan untuk mengatasi dan memahami bahwa keterlibatan ini timbul.
Bermain peran sebagai suatu model pembelajaran bertujuan untuk membantu siswa menemukan makna diri (jati diri) di dunia sosial dan memecahkan dilema dengan bantuan kelompok. Artinya, melalui bermain peran siswa belajar menggunakan konsep peran, menyadari adanya peran-peran yang berbeda dan memikirkan perilaku dirinya dan perilaku orang lain. Proses bermain peran ini dapat memberikan contoh kehidupan perilaku manusia yang berguna sebagai sarana bagi siswa untuk:
(1) menggali perasaannya,
(2) memperoleh inspirasi dan pemahaman yang berpengaruh terhadap sikap, nilai, dan persepsinya,
(3) mengembangkan keterampilan dan sikap dalam memecahkan masalah, dan
(4) mendalami mata pelajaran dengan berbagai macam cara. Hal ini akan bermanfaat bagi siswa pada saat terjun ke masyarakat kelak karena ia akan mendapatkan diri dalam suatu situasi di mana begitu banyak peran terjadi, seperti dalam lingkungan keluarga, bertetangga, lingkungan kerja, dan lain-lain
Tujuan-tujuan ini mencerminkan beberapa asumsi tentang proses pembelajaran dalam bermain peran.
Pertama, bermain peran secara implisit mendukung situasi pembelajaran berbasis pengalaman di mana “di sini dan sekarang" menjadi muatan pelajaran. Model ini mengasumsikan bahwa dimungkinkan untuk menciptakan analogi-analogi autentik terhadap situasi masalah kehidupan nyata dan bahwa melalui penciptaan kembali ini siswa dapat membuat contoh" kehidupan. Dengan demikian, proses memainkan peran menjelaskan respons dan perilaku emosional asli dari siswa .
Asumsi yang berhubungan adalah bahwa bermain peran dapat menggambarkan perasaan siswa yang dapat mereka kenali dan mungkin melepaskannya melalui pemeranan yang logis. Versi bermain peran dari Shaftel menekankan muatan intelektual sebanyak muatan emosional; analisis dan pembahasan proses memainkan peran adalah sama pentingnya dengan bermain peran itu sendiri.
Asumsi yang lain, sama dengan asumsi model sinektik adalah bahwa emosi dan gagasan dapat dibawa kepada kesadaran dan diperkuat oleh kelompok. Reaksi bersama dari kelompok dapat memberikan gagasan baru dan memberikan arah bagi pertumbuhan dan perubahan. Model ini mengurangi pentingnya peran tradisional guru dan mendorong tindakan mendengarkan dan mempelajari dari rekan-rekan sebaya.
Asumsi akhir adalah bahwa proses psikologi tersembunyi yang melibatkan sikap, nilai, dan sistem keyakinannya sendiri dapat dibawa kepada kesadaran dengan menggabungkan proses memerankan spontan dengan analisis. Selain itu, individu dapat memperoleh ukuran kontrol terhadap sistem keyakinan mereka apabila mereka mengenal nilai-nilai dan sikap mereka dan mengujinya terhadap pandangan orang lain. Analisis tersebut dapat membantu mereka mengevaluasi sikap dan nilai-nilai mereka dan akibat dari keyakinan mereka, sehingga mereka dapat memungkinkan diri mereka sendiri untuk tumbuh.
Konsep peran adalah salah satu landasan teoritis sentral dari model bermain peran. Ia juga merupakan tujuan utama. Siswa perlu belajar untuk mengenal peran-peran yang berbeda, dan untuk memikirkan perilakunya sendiri serta perilaku orang lain dalam hal peran. Ada banyak aspek lain untuk model ini, dan banyak level analisis, yang sampai tingkatan tertentu saling berkompetisi. Sebagai contoh, isi masalah, solusi masalah, perasaan akan pemain peran, dan proses memainkan peran itu sendiri, semuanya berperan untuk melibatkan siswa dalam role play.
C.Prosedur Pembelajaran, Sintaks, Langkah Pembelajaran Bermain Peran (Role Playing)
Manfaat bermain peran tergantung pada kualitas proses memainkan peran (apakah para aktor benar-benar masuk dalam perannya) dan khususnya pada analisis sesudahnya. Manfaat juga tergantung pada persepsi siswa terhadap peran yang mirip dengan situasi kehidupan sebenarnya. Anak-anak tidak perlu turut serta secara efektif dalam bermain peran atau analisis peran ketika pertama kali mereka mencobanya. Kebanyakan siswa harus belajar untuk turut serta dalam bermain peran dengan cara yang tulus sehingga muatan yang dihasilkan dapat dianalisis dengan serius. Bermain peran tidak mungkin berhasil jika guru hanya melontarkan situasi masalah, membujuk anak anak untuk memerankannya, dan kemudian melakukan diskusi tentang proses memainkan peran tersebut. Seperti dengan perilaku yang berhasil pada semua model, siswa perlu belajar bagaimana membuat jenis penelitian ini berguna.
Shaftels menyatakan bahwa aktivitas bermain peran terdiri dari sembilan langkah: (1)melatih kelompok, (2) menyeleksi peserta, (3) mengatur panggung, (4) mempersiapkan pengamat,(5) berperan, (6) membahas dan mengevaluasi, (7) berperan kembali, (8) membahas dan mengevaluasi, dan (9) berbagi pengalaman serta menggeneralisasi. Masing masing langkah atau fase tersebut memiliki tujuan khusus yang berkontribusi pada kekayaan dan fokus aktivitas pembelajaran. Bersama-sama, langkah-langkah ini memastikan bahwa rangkaian pemikiran diikuti di seluruh aktivitas, bahwa siswa dipersiapkan dalam perannya, bahwa tujuan untuk bermain peran diidentifikasi, dan bahwa pembahasan sesudahnya tidak sekadar kumpulan reaksi yang menyebar, meskipun juga penting.
Fase satu, melatih kelompok/ pemanasan (warming up)
melibatkan perkenalan siswa ke masalah sehingga mereka mengenalinya sebagai bidang yang perlu di pelajari oleh setiap orang. Pelatihan dapat dimulai, sebagai contoh, dengan mengidentifikasi masalah dalam kelompok.
Pada langkah ini, Guru berupaya memperkenalkan siswa pada permasalahan yang mereka sadari sebagai suatu hal yang bagi semua orang perlu memelajari dan menguasainya. Bagian berikutnya dari proses pemanasan adalah menggambarkan permasalahan dengan jelas disertai contoh. Hal ini bisa muncul dari imajinasi siswa atau sengaja disiapkan oleh guru.
Pada fase dua, menyeleksi peserta,
anak-anak dan guru mendeskripsikan berbagai karakter - seperti apakah mereka, bagaimana mereka merasakannya, dan apa yang mungkin mereka lakukan. Anak-anak kemudian diminta untuk bersukarela memainkan peran; mereka bahkan mungkin meminta untuk memainkan peran tertentu. Shaftel memperingatkan kita agar tidak memberikan peran kepada seorang anak yang telah ditetapkan untuk peran tersebut, karena orang yang menunjuk mungkin membuat anak tersebut berada dalam situasi yang tidak mengenakkan. Seseorang pasti menginginkan untuk memainkan sebuah peran. Meskipun ia mempertimbangkan kesukaan anak-anak, guru sebaiknya melatih kendali pada situasi tersebut.
Fase ketiga, menata panggung.
Dalam hal ini guru mendiskusikan dengan siswa di mana dan bagaimana peran itu akan dimainkan. Apa saja kebutuhan yang diperlukan. Penataan panggung ini dapat sederhana atau kompleks. Yang paling sederhana adalah hanya membahas skenario (tanpa dialog lengkap) yang menggambarkan urutan permainan peran. Misalnya siapa dulu yang muncul, kemudian diikuti oleh siapa, dan seterusnya. Sementara penataan panggung yang lebih kompleks meliputi aksesoris lain seperti kostum dan lain lain. Konsep sederhana memungkinkan untuk dilakukan karena intinya bukan kemewahan panggung, tetapi proses bermain peran itu sendiri.
fase keempat, menyiapkan pengamat
guru menunjuk beberapa siswa sebagai pengamat. Namun demikian, penting untuk dicatat bahwa pengamat di sini harus juga terlibat aktif dalam permainan peran. Untuk itu, walaupun mereka ditugaskan sebagai pengamat, guru sebaiknya memberikan tugas peran terhadap mereka agar dapat terlibat aktif dalam permainan peran tersebut.
Fase kelima, permainan peran di mulai.
Permainan peran dilaksanakan secara spontan. Pada awalnya akan banyak siswa yang masih bingung memainkan perannya atau bahkan tidak sesuai dengan peran yang seharusnya ia lakukan. Bahkan, mungkin ada yang memainkan peran yang bukan perannya. Jika permainan peran sudah terlalu jauh keluar jalur, guru dapat menghentikannya untuk segera masuk ke langkah berikutnya.
Fase keenam, membahas dan mengevaluasi
guru bersama siswa mendiskusikan permainan tadi dan melakukan evaluasi terhadap peran-peran yang dilakukan. Usulan perbaikan akan muncul. Mungkin ada siswa yang meminta untuk berganti peran. Atau bahkan alur ceritanya akan sedikit berubah. Apa pun hasil diskusi dan evaluasi tidak jadi masalah Setelah diskusi dan evaluasi selesai,
fase ketujuh, yaitu permainan peran ulang.
Seharusnya, pada permainan peran kedua ini akan berjalan lebih baik. Siswa dapat memainkan perannya lebih sesuai dengan skenario. Siswa dan guru bisa saling berbagi penafsiran baru tentang peran dan memutuskan siapakah yang akan kembali memerankan peran tersebut. Pemeranan ulang harus menyelidiki sebanyak mungkin kemungkinan baru tentang penyebab dan pengaruh.
Fase kedelapan, diskusi dan evaluasi
siswa memiliki kemampuan untuk menerima solusi, namun guru mendesak munculnya solusi yang cukup realistis dengan bertanya apakah yang mereka pikirkan dapat benar-benar terjadi dalam ending cerita tersebut.
fase kesembilan, berbagi pengalaman dan mengembangkannya
siswa diajak untuk berbagi pengalaman tentang tema permainan peran yang telah dilakukan dan dilanjutkan dengan membuat kesimpulan. Misalnya siswa akan berbagi pengalaman tentang bagaimana ia dimarahi habis-habisan oleh ayahnya. Kemudian guru membahas bagaimana sebaiknya siswa menghadapi situasi tersebut. Seandainya jadi ayah dari siswa tersebut, sikap seperti apa yang sebaiknya dilakukan. Dengan cara ini, siswa akan belajar tentang kehidupan.
D.Penerapan /Aplikasi Pembelajaran Bermain Peran (Role Playing)
Model bermain peran adalah model yang serbaguna dan dapat digunakan untuk berusaha meraih beberapa tujuan pendidikan penting. Melalui bermain peran, siswa dapat meningkatkan kemampuan mereka untuk mengenali perasaannya sendiri dan perasaan orang lain, mendapatkan perilaku baru karena sebelumnya menangani situasi yang sulit, dan meningkatkan keterampilan memecahkan masalah mereka Selain kegunaannya yang banyak, model bermain peran membawa serta berbagai aktivitas yang menarik. Karena siswa menikmati aksi (action) dan beraksi (acting), maka mudah untuk melupakan bahwa bermain peran itu sendiri merupakan sarana untuk mengembangkan muatan mata pelajaran. Tahapan-tahapan model tidak berakhir dengan sendirinya, tetapi tahapan tersebut membantu mengungkapkan nilai, perasaan, sikap, dan solusi siswa terhadap masalah, yang kemudian dapat dieksplorasi.
Mengapa menggunakan bermain peran? Dua alasan: Pertama adalah untuk memulai program pendidikan sosial sistematik di mana situasi bermain peran membentuk banyak materi untuk didiskusikan dan dianalisis; untuk tujuan ini, jenis masalah tertentu dipilih. Alasan kedua adalah menganjurkan sekelompok anak yang berhadapan dengan masalah hubungan dekat manusia; bermain peran dapat membuka bidang masalah ini untuk penelitian siswa dan membantu mereka memecahkan masalah.
Sumber
Bruce joyce, marsha weil, & emily calhoun, model of teaching, yogyakarta: pustaka pelajar, 2016
Hamzah b. Uno, model pembelajaran, jakarta: bumi aksara, 2009
Martinis yamin, desain pembelajaran berbasis tingkat satuan pendidikan, jakarta: GP press, 2010
Roestiyah Nk, strategi belajar mengajar, jakarta: rineka cipta, 1991
Bagikan Artikel
Komentar
Posting Komentar