Zaman Penjajahan Belanda di Dompu
Kerajaan/Kesultanan Dompu mengalami zaman penjajahan Belanda diperkirakan hampir selama tiga abad (sekitar 270 tahun). Hal itu berawal ketika Dompu ditaklukkan oleh kerajaan kembar Goa - Tallo (Makassar) pada sekitar tahun 1618 atau pada saat masa pemerintahaan raja Goa ke-14 yakni Sultan Alauddin. Selanjutnya sekitar abad ke-16 atau pada masa pemerintahaan Sultan Hasanuddin (Raja Sultan Goa) menandatangani perjanjian Bungaya pada tanggal 18 November 1667 dengan Spelman (Belanda), maka Dompu yang saat itu menjadi bagian dari kekuasaan wilayah Kerajaan Goa secara otomatis masuk dalam wilayah jajahan pemerintah Kolonial Hindia Belanda,
Pada tahun 1669, diadakan perjanjian antara Dompu dengan pihak VOC (Belanda), saat itu Dompu dipimpin oleh Sultan Muhammad Siradjuddin (Ma Nuru Kupang). Sejak saat itu pulau Sumbawa masuk dalam wilayah kekuasaan jajahan VOC. Selanjutnya pada tahun 1673, VOC mendaratkan pasukan perangnya di bawah komando Kapten J.F. Holsteyner. Waktu terus berjalan, VOC terus melebarkan sayap wilayah jajahannya di pulau Sumbawa, monopoli perdagangan dikuasai penuh oleh VOC, ibarat ladang empuk bagi VOC untuk menguasai pulau Sumbawa saat itu. Pada tanggal 13 September 1701 VOC akhirnya memaksa Raja Bima, Dompu, Tambora, Pekat dan Kerajaan Sanggar untuk kembali menanda tangani sebuah perjanjian yang intinya bahwa wilayah kerajaan-kerajaan yang berada di Pulau Sumbawa tersebut menjadi wilayah jajahan pihak VOC.
Meskipun para pimpinan kerajaan telah menanda tangani peranan dengan pihak Belanda, namun rakyat di kerajaan kerajaan tersebut termasuk rakyat di kerajaan Dompu terus berupaya menentang pihak Belanda dengan melakukan berbagai perlawanan ala kadarnya Sekitar tahun 1718-1728, rakyat Dompu di bawah komando Daeng Talola melakukan perlawanan terhadap Belanda, dimana Dompu saat itu di bawah pimpinan Sultan Syamsuddin yang bergelar (Mawa a Sampela). Tahun 1728, Daeng Talola ditangkap belanda dan akhirnya di hukum mati.
Akibat banyaknya perlawanan oleh sebagian kelompok masya rakat saat itu, maka setiap pergantian Raja/Sultan di seluruh wilayah kerajaan-kerajaan yang ada di pulau Sumbawa, dan juga di Makassar Belanda selalu melakukan intervensi. Setiap pergantian Raja Sultan Belanda selalu memperbaharui kontrak, tidak itu saja, Belanda bahkan mulai mengadu domba antara rakyat dengan Raja/Sultan, begitu juga antara Kerajaan dengan Kerajaan lainnya. Tahun 1771. Belanda mulai terang-terangan mengadu domba antara Kerajaan Dompu dengan Kerajaan Bima, kemudian sekitar tahun 1779, Belanda mengadu domba antara kerajaan Dompu dengan Kerajaan Tambora, dan pada tahun 1788 Kerajaan Dompu di adu domba oleh Belanda dengan Kerajaan Sumbawa
Belanda terus melancarkan berbagai strategi untuk tetap berkuasa di wilayah pulau Sumbawa, bahkan pajak rakyat yang seharusnya di setor ke Kerajaan, maka harus disetor pula ke pihak Belanda. Melihat kondisi seperti, dimana rakyat mulai sengsara akibat ulah para kum penjajah akhirnya menggugah kesadaran para Raja Sultan saat itu melakukan perlawanan secara terang-terangan terhadap Belanda Rayat dan pemerintah kerajaan bersatu padu untuk melawan kaum penjajah Timbulah perlawanan pemberontakan sengit antara Kerajaan Kerajaan di wilayah pulau Sumbawa untuk melawan penjajah Belanda Tahun 1907-1908 misalnya, terjadi peristiwa pertempuransengit antara Belanda dengan Kerajaan Sumbawa yang dikenal dengan Perang Undru, Perang Donggo (1908-1909), Perang Ngali-Dena (1908) dan lain sebagaiannya.
Pada tahun 1942, Belanda sudah semakin terjepit dengan adanya perlawanan dari kerajaan-kerajaan yang ada di wilayah Pulau Sumbawa. Tahun 1942, kebencian rakyat Dompu mulai memuncak, hal itu terbukti dengan terjadinya peristiwa penangkapan beberapa tentara Belanda oleh rakyat Dompu dan Bima yang saat itu dipimpin oleh H.Mahmud Kasyimir pada tanggal 5 mei tahun 1942.
Peristiwa tersebut tampaknya membuat Belanda kebakaran jenggot, Belanda memuncak amarahnya dan akhirnya dilakukan serangan balasan secara besar-besaran oleh pihak Belanda di wilayah Soriutu Dompu dimana saat itu Belanda mendapat bantuan bala tentara Belanda yang bercokol di wilayah Sumbawa untuk menggempur Dompu secara membabi buta. Peristiwa perang Soriutu antara Belanda dengan Rakyat Dompu dikenal dengan peristiwa perang Manggelewa. Pada pertempuran di Soriutu, rakyat Dompu dan Bima bersatu bertempur dengan gagah berani melawan Belanda. Ketika pertempuran Soriutu berlangsung, dilakukan pengerahan masa besar-besaran oleh Jeneli Dompu M. Saleh dan jeneli Kempo Abdullah Daeng Tanga.
Akhir tahun 1942, Belanda mengakhiri kekuasaannya di wilayah Dompu, Bima dan Sumbawa bersamaan dengan masuknya Jepang ke wilayah pulau Sumbawa. Saat itu kedatangan Jepang sangat di harapkan oleh seluruh rakyat yang ada di wilayah pulau Sumbawa karena dengan kehadiran Jepang diharapkan dapat membantu memulihkan kondisi rakyat pasca pendudukan tentara Belanda yang sudah ratusan tahun bercokol dan menyengsarakan rakyat di wilayah pulau Sumbawa.
Beberapa catatan penting yang terjadi di Dompu saat penjajahan VOC/Belanda
- Perjanjian Bungaya (Belanda Sultan Hasanuddin/Raja Goa Makassar) pada tanggal 18 November 1667 dimana dalam perjanjian tersebut di antaranya Dompu takluk kepada Belanda.
- Tahun 1669, diadakan perjanjian antara VOC dengan Sultan Syamsuddin Dompu di Benteng Rotterdam Makassar.
- Tahun 1673, Belanda mendaratkan pasukannya di pulau Sumbawa.
- Tanggal 13 September Tahun 1701 Raja-raja di pulau Sumbawa yakni Kerajaan Sumbawa, Bima, Dompu menandatangani perjanjian di Makassar
- Tahun 1718-1727 terjadi pemberontakan di Dompu yang dipimpin oleh Daeng Talola, saat itu Dompu dipimpin oleh Sultan Syamsuddin.
- Tahun 1727, Sultan Syamsuddin mengikuti pertemuan dengan Belanda di Jawa Timur dan di ikuti oleh beberapa Ulama dan tokoh Agama dari pulau Jawa.
- Tahun 1748, terjadi perang antara kerajaan Dompu dengan kerajaan Tambora. Sultan Dompu yakni Sultan Abdurahman gugur di wilayah Kempo dalam pertempuran perebutan perbatasan tersebut sehingga beliau di beri gelar Sultan Ma Nuru Kempo.
- Tahun 1771, terjadi perang antara kerajaan Bima dengan Dompu
- Tanggal 21 Oktober tahun 1882, Muhammad Siradjuddin (manuru kupa) di angkat sebagai Sultan Dompu.
- Tahun 1934, Sultan Muhammad Siradjuddin diasingkan Belanda ke Kupang NTT bersama kedua putranya yakni Abdul Wahab dan Abdullah
- Tahun 1934 - 1947, Kesultanan Dompu kosong/tidak ada Sultan yang memerintah di Dompu. Selanjutnya Dompu saat itu bergabung dengan Kesultanan Bima selama hampir 12 tahun.
- Tahun 1937, Sultan Muhammad Siradjuddin wafat dan diberi gelar Sultan Ma Nuru Kupang
- Tanggal 11 Mei 1942, Jepang mendarat di Bima dan Dompu. Di Dompu terjadi perlawanan antara rakyat Dompu dengan Jepang di Soriutu dekat jembatan Kampaja,
- Tahun 1947, terbentuk Negara Indonesia Timur (NIT), Belanda menghidupkan kembali menghidupkan Kesultanan Dompu dengan surat keputusan Residen Timur nomor I a tanggal 12 September 1947 dimana MT. Arifin Siradjuddin putra Abdul Wabab (Ruma To i) sebagai Sultan Dompu. Dompu berdiri sendiri dan lepas dari Kesultanan Bima. Sultan MT.Arifin Siradjuddin wafat pada tanggal 12 September 1963 di Dompu.
SO MANGGE KALO, BUKTI SEJARAH YANG TAK TERLUPAKAN.
"Sultan Yakub Hijrah Ke Mpuri Lewat SO Mangge Kalo"
SO MANGGE KALO yang terletak di kampung Pelita Kelurahan Bada Kecamatan Dompu adalah merupakan areal persawahan penduduk dengan luas sekitar 85 hektar dengan di kelilingi gugusan bukit-bukit yang memanjang disebelah timur laksana pagar alam yang membentang mengelilingi Bumi Nggahi Rawi Pahu Dompu. SO MANGGE KALO yang di pagari dengan gugusan bukit itu berbatasan langsung dengan wilayah Kecamatan Mada Pangga Kabupaten Bima, dimana tepatnya di balik bukit (BUKIT TEKA ATI) terdapat beberapa Desa diantaranya Desa Tonda, Desa Mpuri dan Desa Woro Kecamatan Mada Pangga Bima.
Di lokasi Mangge Kalo terdapat aliran sungai yang oleh warga setempat dinamakan Sungai LEMBO (SORI LEMBO). Sori Lembo bagi masyarakat Dompu sangat besar nilai historisnya sebagai saksi serta bukti sejarah di masa lampau. Di sungai tersebut terdapat sebuah bangunan Cek Dam yang di bangun sejak zaman VOC, kini Cek Dam itu sendiri sudah direnovasi oleh Pemkab Dompu sebagai salah satu sumber air bagi para petani di sekitar SO Mangge Kalo. Menurut Cerita sejarah yang ada di Dompu, So Mangge Kalo pada jaman masa pemerintahan sultan dompu yang ke-24 yakni Sultan Yakub itu merupakan tempat atau lokasi petilasan dimana saat sultan Yakub menjalani masa pembuangan politik oleh pemerintah VOC, di Mangge Kalo itulah Sultan Yakub pernah melintasi areal tersebut menuju Negeri Mpuri (Bima) dengan melewati bukit yang dinamakan Bukit"TEKA ATI". Sultan Yakub oleh pemerintahan VOC saat itu diasingkan ke Mpuri yang masuk dalam wilayah kesultan Bima, secara geogarfis lokasi So Mangge Kalo merupakan lokasi jalan pintas (potong kompas menuju Bima), begitu naik melintas bukit TEKA ATI (Tanjakan Ati) maka dibawah bukit tepatnya di balik bukit akan terlihat perkampungan penduduk dan di antaranya terdapat desa Mpuri wilayah kabupaten Bima.
Sultan Yakub yang saat itu sudah berusia tua akhirnya menetap dan wafat di desa Mpuri bersama dengan beberapa kerabat Sultan lainya. Sultan Yakub diasingkan atau dibuang oleh pemerintahan VOC ke Mpuri karena politik pemerintahan penjajah saat itu. Melihat latar belakang sejarah atau peristiwa tersebut, maka dapat sedikit ditarik satu kesimpulan bahwa masyarakat desa Mpuri ada kaitan atau hubungan yang sangat erat dengan pihak kesultanan Dompu,sebab konon cerita para pengikut Sultan Yakub sebagian tidak kembali ke dompu namun mereka akhirnya menikah dan menetap di Mpuri begitu Sultan wafat. Hal itu juga diperkuat dengan penuturan isteri dari sultan Dompu terakhir MT.Sirajuddin yakni HJ.Siti Hadijah (Ruma Siwe) Kepada penulis dikediamannya komplek ASI Dompu beberapa waktu lalu. Ruma Siwe mengatakan bahwa sebagian masyarakat desa Mpuri itu ada kaitan atau hubungan darah dengan pihak kesultanan Dompu jika menengok kebelakang dari peristiwa hijrahnya Sultan Yakub karena pembuangan politik pemerintah penjajah waktu itu. Bahkan sampai saat ini makam Sultan Yakub masih ada dan terawat di Desa Mpuri tersebut, oleh warga setempat makam tersebut di kenal dengan sebutan RADE NDUPA
Salah seorang budayawan sekaligus tokoh masyarakat Dompu H. Nurdin Umar kepada penulis menuturkan, sultan Yakub yang diasingkan oleh pemerintahan penjajah saat itu ibarat "SENATORIUM "dimana sultan Yakub saat itu tengah megalami sakit sehingga pihak pemerintah penjajah membuat kebijakan sementara untuk mengisti rahatkan Sultan Yakub di sebuah tempat khusus yakni di dusun Mpuri. H.Nurdin Umar juga sependapat jika masyarakat Mpuri itu masih ada hubungan darah dengan masyarakat Dompu sebab ketika Sultan Yakub diasingkan ke Negeri Mpuri beserta para kerabat dan keluarganya itu sebagian dari kerabat dekat sultan banyak yang menetap dan menikah di Mpuri hingga beranak cucu. "Contohnya sebagian warga kelurahan potu ini nenek moyangnya juga berasal dari daerah Dena dan Mpuri, "Papar H.Nurdin Umar kepada penulis dikediamanya di kelurahan Potu kecamatan Dompu beberapa waktu lalu.
Mengenai lokasi SO MANGGE KALO menurut H.Nurdin Umar, pada sekitar tahun 1981 yang lalu dilokasi tersebut pernah ditemukan sebuah KAPAK BATU peninggalan zaman dulu dan saat ini barang tersebut disimpan di musium Negeri Mataram NTB. Lokasi SOO MANGGE KALO dulu merupakan lokasi pemukiman penduduk jaman kuno bahkan jauh sebelum adanya tatanan kehidupan pemerintah seperti adanya kerajaan. Mantan Bupati Dompu H.Abubakar Ahmad, SH pernah menyatakan bahwa, lokasi SO MANGGE KALO itu merupakan salah satu bukti dan saksi sejarah yang tidak dapat di bohongi sebab lokasi tersebut merupakan sejarah bagi masyarakat Dompu itu sendiri.
Source: H. R. M. Agoes soeryanto, Sejarah Kabupaten Dompu, pemerintah Kabupaten Dompu tahun 2013.
Bagikan Artikel
Komentar
Posting Komentar