Anak dengan Hambatan Pendengaran /Tunarungu
1. Pengertian Ketunarunguan
Secara etimologis istilah tunarungu berasal dari kata “tuna” dan “rungu”, tuna artinya kurang atau tidak memiliki dan rungu artinya mendengar atau pendengaran. Jadi secara bahasa tunarungu dapat diartikan sebagai seseorang yang tidak mampu mendengar.
Menurut Donald F. Morees dalam Somad dan Herawati (1996: 26), mendefinisikan tunarungu sebagai berikut:
Hearing impairment a generic term indicating a hearing disability that may range in severity from mild to profound it concludes the sub sets of deaf a n d hard of hearing. A deaf person in one whose hearing disability preclude succesful processing of linguistic information through audition, with or without a hearing aid. A hard of hearing is one one who generally with use of hearing aid, has residual hearing sufficient to enable succesful processing og linguistic information through auditon.
Dari definisi tersebut dapat diartikan bahwa tunarungu adalah suatu istilah umum yang menunjukkan kesulitan mendengar dari yang ringan sampai berat, digolongkan ke dalam tuli dan kurang dengar. Orang tuli adalah yang kehilangan kemampuan mendengar sehingga menghambat proses informasi bahasa melalui pendengaran, baik memakai ataupun tidak memakai alat bantu dengar di mana batas pendengaran yang dimilikinya cukup memungkinkan keberhasilan proses informasi bahasa melalui pendengaran.
Pengertian selanjutnya menurut Boothroyd dalam Bunawan dan Yuwati mengemukakan istilah hambatan pendengaran/tunarungu ditujukan kepada seseorang yang mengalami segala gangguan dalam daya dengar, terlepas dari sifat, faktor penyebab, dan tingkat/derajat ketunarunguan. Seseorang yang mengalami gangguan kemampuan daya dengar walaupun tingkat derajatnya bervariasi dalam menangkap bunyi akan dikatakan sebagai tunarungu.
Berdasarkan berbagai pengertian tentang ketunarunguan/hambatan pendengaran maka dapat disimpulkan bahwa ketunarunguan/hambatan pendengaran merupakan suatu keadaan dimana individu mengalami kerusakan pada indera pendengaran yang mengakibatkan mengalami gangguan kemampuan dalam daya dengar, yang meliputi seluruh gradasi baik ringan, sedang sampai berat walaupun den gan atau tanpa alat bantu dengar tetap mengalami kesulitan dalam percakapan (berbahasa) sehin g ga membutuhkan layanan pendidikan khusus untuk memaksimalkan kemampuan yang ada sehingga mampu berinteraksi dengan lingkungan sekitar.
Untuk lebih memperdalam penguasaan anda dalam memahami peserta didik tunarungu/hambatan pendengaran, sehingga dalam melakukan proses pembelajaran dapat sesuai dengan kebutuhan peserta didiknya, berikut akan dibahas tentang karakteristik dari peserta didik tunarungu/hambatan pendengaran.
2. Penyebab Ketunarunguan
Ada banyak penyebab yang dapat mengakibatkan terjadinya tunarungu/hambatan pendengaran, namun pada kali ini akan dibahas 2 (dua) faktor penyebab saja yaitu:
1) Faktor Internal Diri Anak
Faktor dari dalam diri anak terdapat beberapa hal yang menyebabkan ketunarunguan:
a) Faktor genetik dari salah satu atau kedua orang tua yang mengalami hambatan pendengaran/ketunarunguan. Kondisi genetik yang berbeda disebabkan oleh gen yang dominan represif dan berhubungan dengan je n is kelamin. Misalnya apabila seoang ibu mempunyai darah dengan Rh - mengandung janin Rh+, maka sistem pembuangan pada antibod i p a d a ib u sampai pada sirkulasi janin. Virus tersebut dapat membunuh pertumbuhan sel-sel dan menyerang jaringan-jaringan pada mata, telinga, dan atau organ lainnya.
b) Penyakit Campak Jerman (Rubella) yang diderita ibu yang sedang mengandung. Pada masa kandungan tiga bulan pertama, penyakit ini akan berpengaruh buruk pada janin. Penelitian oleh Hardy (1968) mengungkapkan 199 anak yang ibunya terkena virus Rubella saat mengandung selama tahun 1964-1965. Hasilnya, 50 % dari anak-anak tersebut mengalami kelainan pendengaran.
c) Keracunan darah atau Toxaminia yang diderita ibu yang sedang mengandung. Hal ini bisa mengakibatkan kerusakan pada plasenta yang mempengaruhi pertumbuhan janin. Jika saraf atau alat pendengaran yang terserang, bayi akan lahir dalam keadaan tunarungu.
2) Faktor Eksternal Diri Anak
a) Anak mengalami infeksi pada saat dilahirkan. Misal, anak tertular Herpes implex yang menyerang alat kelamin ibu. Begitu juga denga n penyakit kelamin yang lain, jika virusnya masih aktif dapat ditularkan . Penyakit-penyakit yang ditularkan ibu kepada anak yang dilahirkannya dapat menyebabkan kerusakan pada alat -alat atau syaraf pendengaran.
b) Meningitis atau radang selaput otak yang disebabkan oleh bakteri yang menyerang labyrinth (telinga dalam) melalui sistem sel-sel udara apada telinga tengah.
c) Radang telinga bagian tengah (otitis media) pada anak. Radang ini mengeluarkan nanah, yang mengumpul dan menggangguh antaran bunyi. Jika radang ini tidak segera diobati dapat menimbulkan kehilangan pendengaran yang tergolong ringan sampai sedang. Radang ini sering terjadi pada masa kanak-kanak sebelum mencapai usia enam tahun. Hambatan pendengaran/tunarungu yang disebabkan otitis media bisanya terjadi karena penyakit pernapasan yang berat atau pilek dan penyakit anak -anak seperti campak, sehingga dapat menyebabkan kehilangan pendengaran.
d) Kecelakaan, seperti terjatuh dalam posisi yang mengenai tulang belakang dan tulang ekor yang berakibat kepada syaraf pendengaran.
3. Karakteristik Peserta Didik Tunarungu/Hambatan Pendengaran
Apa yang dimaksud dengan karakteristik? Tentunya sudah sering anda mendengarnya, namun untuk lebih memberikan persepsi yang sama tentang karakteristik tersebut, maka di bawah ini penjelasannya: Karakteristik menurut KKBI adalah sifat, tabiat khas sesuai dengan perwatakan tertentu. Karakteristik tunarungu berarti sifat, tabiat yang sering muncul secara konsisten dan teratur hingga membentuk perilaku kebiasaan individu tunarungu akibat dari ketunarunguan yang dialaminya.
Karakteristik tunarungu/hambatan pendengaran menurut Van Uden dan Meadow dalam Bunawan dan Yuwati sifat atau ciri -ciri yang sering ditemukan pada peserta didik tunarungu/hambatan pendengaran sering menunjukkan hal-hal sebagai berikut:
1) Sifat ego-sentris yang lebih besar daripada anak mendengar
Sifat ini menunjukan bahwa peserta didik tunarungu /hambatan pendengaran akan lebih terarah kepada dirinya sendiri yang membuat mereka sukar menempatkan diri pada cara berpikir dan perasaan orang lain, dan kurang menyadari atau peduli efek perilakunya terhadap orang lain. Dalam tindakannya dikuasai oleh perasaan dan pemikiran yang berlebihan sehingga sulit menyesuaikan diri. Hal ini disebabkan karena kemampuan bahasa yang terbatas sehingga akan membatasi pula kemampuan untuk mengintegrasikan pengalaman dan akan semakin memperkuat sifat egosentrisnya.
2) Memiliki sifat impulsif
Sifat ini menunjukan bahwa peserta didik tunarungu /hambatan pendengaran dalam tindakannya tidak didasarkan pada perencanaan yang hati-hati dan jelas, serta tanpa mengantisipasi akibat yang mun gkin ditimbulkan oleh perbuatannya. Apa yang mereka inginkan biasanya perlu segera dipenuhi karena sulit bagi mereka untuk merencanakan atau menunda suatu pemuasan kebutuhannya dalam jangka panjang.
3) Sifat kaku (rigidity)
Sifat ini menunjuk pada sikap kaku atau kurang luwes dalam memandang dunia dan tugas-tugas dalam kehidupan sehari-hari. Karena miskin bahasa mengakibatkan suatu kekakuan da lam menerapkan suatu suatu aturan (yang pernah dipelajari) tanpa melihat situasi atau kondisi yang dihadapinya.
4) Sifat lekas marah dan tersinggung
Sifat ini merujuk pada kemiskinan bahasa yang dialami oleh tunarungu yang mengakibatkan tidak dapat menjelaska n maksudnya dengan baik dan sebaliknya kurang dapat memahami apa yang dikatakan or an g la in . Keadaan ini menyebabkan kekecewaan, ketegangan, dan frustasi pada akhirnya menyebabkan ledakan kemarahan.
5) Perasaan ragu-ragu dan khawatir
Sifat ini terjadi seiring dengan makin banyaknya pengalaman yang dialami anak secara terus-menerus. Mereka juga memiliki keinginan untuk berinteraksi dengan lingkungan sekitar. Sehingga dibutuhkan kemampuan bahasa agar anak dapat termotivasi untuk berkomunikasi dengan lingkungan sekitar sehingga kepercayaan diri anak dapat tumbuh.
Karakteristik tunarungu tidak terbatas pada 5 (lima) yang telah dijela s k a n di atas, akan tetapi bisa saja peserta didik hambatan pendengaran/ tunarungu memiliki karakteristik lainnya yang muncul d an menjadi ciri khas dari individu tersebut. Namun demikian ciri-ciri lainnya hanyalah kasusistik saja tidak dapat disamakan untuk semua peserta didik hambatan pendengaran, misalnya individu peserta didik hambatan pendengaran /tunarungu yang pembawaannnya tenang, tidak mudah tersinggung dan percaya diri, hal ini disebabkan karena pengaruh pola asuh keluarga yang sudah mendidik dengan nilai-nilai yang positif.
4. Klasifikasi Tunarungu
Pada kesempatan ini pengklasifikasian tunarungu/hambatan pendengaran akan dikelompokkan berdasarkan:
1) Saat terjadinya ketunarunguan, yaitu:
1. Ketunarunguan/hambatan pendengaran bawaan, artinya ketika lahir anak sudah mengalami/menyandang hambatan pedengaran/tunarungu dan indera pendengarannya sudah tidak berfungsi lagi.
2. Ketunarunguan/hambatan pendengaran setelah lahir, artinya terjadinya hambatan pendengaran/tunarungu setelah anak lahir dan diakibatkan oleh kecelakaan atau suatu penyakit.
2) Tingkatan Derajat Pendengaran, yaitu:
Menurut Boothroyd, klasifikasi tunarungu/hambatan pendengaran berdasarkan tingkatan derajat pendengaran dapat dilihat pada table di bawah ini:
Kelompok I |
Kehilangan 15-30
dB, mild hearing losses atau ketunarunguan ringan,
Daya tangkap terha d ap s u a ra percakapan manusia |
Kelompok II |
Kehilangan 31- 60
dB, moderate hearing losses atau ketunarunguan sedang; daya
tangkap terhadap suara
percakapan manusia hanya sebagian. |
Kelompok III |
Kehilangan 61-90 dB
:
severe hearing losses
atau
ketunarunguan
berat,
Daya tangkap
terhadap
suara percakapan manusia tidak ada |
Kelompok IV |
Kehilangan 91-120 dB : profound hearing losses
atau ketunarunguan
sangat berat; daya
tangkap terhadap suara percakapan manusia tidak ada sama sekali. |
Kelompok V |
Kehilangan lebih dari 120 dB : total hearing loss e s a t a u ketunarunguan
total;
daya tangkap terhadap suara
cakapan manusia tidak ada sama sekali. |
3) Taraf Penguasaan Bahasa
a) Tunarungu/Hambatan Pendengaran Pra Bahasa
Mereka yang menjadi tunarungu sebelum dikuasainya bahasa, artinya anak baru menggunakan tanda tertentu seperti mengamati, menunjuk , meraih, memegang suatu benda atau orang dan mulai mengerti lambang tetapi belum membentuk suatu sistem lambang bahasa. Tingkatan ini biasanya terjadi saat anak berusia dibawah 16 bulan.
b) Tunarungu/Hambatan Pendengaran Purna Bahasa
Mereka yang menjadi tunarungu setelah menguasai sesuatu bahasa yaitu telah menerapkan dan memahami sistem lambang bahasa yang berlaku di lingkungan. Biasanya hal ini terjadi karena seseorang terkena suatu penyakit yang merusak fungsi pendengarannya.
4) Tempat kerusakan pendengaran
a) Tunarungu/hambatan pendengaran konduktif yaitu kerusakan terjadi pada bagian telinga luar dan tengah, sehingga menghambat bunyi- bunyian yang akan masuk ke dalam telinga.
b) Tunarungu/hambatan pendengaran sensoris yaitu: kerusakan terjadi pada telinga bagian dalam sehingga tidak dapat mendengar bunyi/suara.
c) Tunarungu/hambatan pendengaran campuran yaitu: kerusakan terjadi pada telinga luar, telinga tengah dan telinga bagian dalam,dan merupakan kerusakan gabungan pada bagian konduktif dan sensoris.
5. Identifikasi dan Asesmen Anak Dengan Hambatan Pendengaran
a. Identifikasi
Dudi Gunawan menyebutkan secara umum identifikasi adalah untuk menghimpun data apakah seorang anak mengalami kelainan/penyimpangan (phisik, intelektual, sosial, emosional, dan/atau sensoris neurologis) dalam pertumbuhan/perkembangannya dibandingkan dengan anak -anak lain seusianya (anak-anak normal), yang hasilnya akan dijadikan dasar untuk penyusunan program pembelajaran sesuai dengan keadaan dan kebutuhannya. Dalam rangka mengidentifikasi (menemukan) anak berkebutuhan khusus, diperlukan
pengetahuan tentang berbagai jenis dan tingkat kelainan anak, diantaranya adalah kelainan fisik, mental, intelektual, sosial dan emosi. Masing- masing memiliki ciri dan tanda-tanda khusus atau karakteristik yang dapat digunakan oleh guru untuk mengidentifikasi anak dengan kebutuhan pendidikan khusus. guru di sekolah luar biasa perlu dibekali berbagai pengetahuan tentang anak berkebutuhan khusus. Diantaranya mengetahui siapa dan bagaimana anak berkebutuhan khusus serta karakteristiknya. Dengan pengetahuan tersebut diharapkan guru mampu melakukan identifikasi, Dengan mengidentifikasi ini guru sekolah luar biasa dapat mencapai tujuan pembelajaran yang diharapkan dengan menyusun srategi pembelajaran yang sistematis, menempatkan anak, Menentukan prosedur perencanaan program, pelaksanaan program, merefleksi progam,mereview kasus dan melakukan evaluasi.
Istilah identifikasi erat hubungannya dengan kata mengenali, menandai, dan menemukan. Kegiatan mengidentifikasi adalah kegiatan untuk mengenal dan menandai sesuatu. Dalam pendidikan luar biasa, identifikasi merupakan langk ah awal yang sangat penting untuk menandai anak-anak yang mengalami kelainan atau anak dengan kebutuhan khusus.
Menemukan dan mengenali anak-anak berkebutuhan khusus sudah barang tentu membutuhkan perhatian serius. Ada anak-anak yang dengan mudah dapat dikenali sebagai anak berkebutuhan khusus, tetapi ada juga yang membutuhk an pendekatan dan peralatan khusus untuk menentukan, bahwa anak tersebut tergolong anak-berkebutuhan khususPengamatan yang seksama mengenai kondisi dan perkembangan anak sangat diperlukan dalam melakukan identifikasi anak-anak berkebutuhan khusus di sekolah oleh guru, dan ini dapat dilakukan guru pada awal siswa masuk sekolah. Untuk dapat memperoleh informasi yang lebih lengkap, maka usaha identifikasi perlu dilakukan dengan berbagai cara, selain melakukan pengamatan secara seksama, perlu juga dilakukan wawancara dengan orangtua ataupun keluarga lainnya. Informasi yang telah diperoleh selanjutnya dapat digunakan untuk menemukenali dan menentukan anak -anak mengalami kelainan/penyimpangan yang dialami. Anda seyogyanya membuat instrumen identifikasi untuk menemukenali anak dengan hambatan pendengaran, misalnya kita dengan mengamati gejala yang diamati:
(1)Tidak mampu mendengar,
(2) Sering memiringkan kepala dalam usaha mendengar,
(3) Banyak perhatian terhadap getaran,
(4) Tidak ada reaksi terhadap bunyi/suara didekatnya
(5) Terlambat perkembangan bahasa
(6) Sering menggunakan isyarat dalam berkomunikasi,
(7) Kurang/tidak tanggap bila diajak bicara.
Dengan identifikasi tersebut kita dapat diketahui apakah tersebut menga lami hambatan pendengaran atau tidak.
b. Asesmen
Asesmen adalah proses yang sistimatis dalam mengumpulkan data seorang anak. Dalam kontek pendidikan asesmen berfungsi untuk melihat kemampuan dan kesulitan yang dihadapi seseorang saat itu, sebagai bahan untuk menentukan apa yang sesungguhnya dibutuhkan. Berdasarkan informasi itulah seorang guru akan dapat menyusun program pembelajaran yang bersifat realistis sesuai dengan kenyataan obyektif dari anak tersebut. Sebagai contoh; dari hasil asesmen diperoleh informasi bahwa anak itu mengalami kesulitan dalam hal bicara, dan bukan kepada pelabelan bahwa anak itu Autis. Selanjutnya instrumen asesmen disusun untuk menemukan hal-hal yang sangat spesifik berkaitan dengan masalah bicara tadi dan bukan untuk menemukan pelabelan. Dengan demikian program pendidikan didasarkan kepada kebutuhan, dan bukan pada kecacatan seorang anak.
Assesmen sering didefinisikan dengan berbagai macam cara, tergantung dari sudut pandang yang digunakan. Beberapa buah diantara definisi terseb ut menyatakan bahwa assesmen adalah suatu proses pengumpulan informasi tentang seorang anak yang akan digunakan untuk membuat pertimbangan dan keputusan yang berhubungan dengan anak tersebut. Kemudian sejalan dengan definisi tersebut, McLoughin dan Lewin ( dalam Yosfan Azwandi, 2005) merumuskan batasan yang menyatakan bahwa assesmen dalam pendidikan luar biasa adalah proses yang sistematis dalam mengajukan pertanyaan yang relevan secara kependidikan untuk digunakan sebagai dasar penempatan dan pembelajaran.
Asesmen bagi penyandang kelainan pendengaran mempunyai fungsi yang le b ih luas, ialah untuk pengobatan atau pemberian bantuan dan juga untuk membantu perencanaan pendidikan. Kegiatan ini harus melibatkan tenaga profesional, seperti dokter THT atau tenaga medis, dan atau petugas speack trerapy. Jika ditemukan adanya gejala klinis mengenai tanda -tanda adanya penyakit pada organ telinga, baik yang secara fungsional telah mengganggu yang ditemukan tersebut secara klinis tidak merupakan suatu penyakit, mungkin me merlukan bantuan alat pendengaran atau alat bantu dengar yang sesuai.
Ada anak yang setelah dilakukan tindakan medis maupun non medis dapat mengfungsikan kembali pendengarannya secara optimal, tetapi tidak sedikit anak yang memang mengalami kelainan penden garan sehingga tidak memungkinkan lagi untuk menggunakan fungsi pendengaran.
Hasil dari asesmen dapat membantu kita memutuskan tentang pemecahan permasalahan pada pembelajaran siswa tunarungu dan jika permasalahan itu diidentifikasi maka kita akan dapat melakukannya.
Kegiatan assesmen dimaksudkan untuk mengidentifikasi karakteristik anak menentukan penempatan anak dalam suatu sistem layanan bantuan, mengevaluasi kemajuan anak, dan memprediksi bantuan akademik dan non akademik anak.
6. Dampak ketunarunguan/hambatan pendengaran terhadap perkembangan bahasa dan komunikasi, kognisi, psikologis, serta sosial emosi
Ketunarunguan/hambatan pendengaran yang berarti tidak memiliki ke ma mp u a n mendengar, tentunya akan membawa dampak juga pada kemampuan untuk memperoleh pendidikan bagi penyandang tersebut. Sementara pendidikan memiliki peran penting dalam kemampuan berpikir seseorang. Dalam hal ini, masa kanak-kanak merupakan masa yang penting dalam proses pendidikan. Sebagaimana yang diutarakan Bloom (2003) bahwa separuh pe rkembangan intelektual anak berlangsung sebelum usia empat tahun. Lebih jelas lagi, menurut Landshears (2004), pada usia empat tahun, perkembangan intelektual mencapai 50 %, selebihnya 30 % untuk 4-8 tahun, dan 20 % usia 9-17 tahun. Dari semua kendala yang ada, maka dampak paling besar pada hambatan pendengaran/ketunarunguan adalah terjadinya kemiskinan bahasa (Uden , 1977 dan Meadow, 1980 dalam Bunawan dan Yuwati, 2000), adalah suatu kenyataan bahwa kebanyakan orang beranggapan bahwa hambatan pendengaran/ketunarunguan hanya mengakibatkan tidak berkembangnya kemampuan berbicara. Padahal lebih dari itu, dampak ketunarunguan adalah kemiskinan dalam penguasaan bahasa secara keseluruhan (Leigh, 1994 dalam Nugroho, 2004). Artinya tanpa pendidikan khusus, terlebih bagi anak hambatan pendengaran/tunarungu berat, mereka tidak akan mengenal lambang bahasa atau nama guna mewakili suatu benda, kegiatan, peristiwa, dan perasaan serta tidak akan memahami aturan/sistem bahasa yang berlaku dan digunakan dalam lingkungannya.
Penguasaan bahasa pada anak mendengar terjadi secara wajar, yakni di lingkungan keluarga selama usia balita. Pada usia empat tahun, mereka pada umumnya sudah memasuki tahap purna bahasa ( postlingual) yaitu mengenal dan memahami lambang bahasa serta tanpa disadari sudah mampu menerapkan aturan bahasa yang digunakan di lingkungannya. Sedangkan bagi anak hambatan pendengaran/tunarungu, pada umumnya baru akan memasuki tahap purna bahasa pada usia 12 tahun. Itupun hanya akan terjadi bila anak dan orangtua mereka mengikuti program bimbingan dan intervensi dini (paling lambat sejak anak berusia 1,5 tahun, dengan intelegensi normal serta tidak mempunyai kecacatan lain) yang ditangani secara profesional oleh ahli yang bersangkutan. Proses pendidikan di semua lembaga pendidikan, termasuk SLB tunarungu bertopang pada kemampuan berbahasa peserta didiknya. Dapat dikatakan bahwa dalam segala kegiatan pembelajaran, kegiatan berbahasa memegang peran baik dalam bentuk lisan, tulisan maupun isyarat. Apabila anak, mengerjakan tugas yang menuntut daya logika dan abstraksi yang lebih tinggi, maka diharapkan keterampilan berbahasa akan membawa peserta didik belajar berfikir runtut dan logis.
Keterlambatan dan kemiskinan perkembangan kemampuan berbahasa peserta didik hambatan pendengaran/tunarungu sebagai akibat dari kelainannya, seyogyanya menjadi acuan bagi para guru dan pengambil kebijakan , karena d i situlah terletak kebutuhan pendidikan khusus mereka. Dan selanjutnya, segala upaya pengembangan pendidikan peserta didik hambatan pendengara/tunarungu sejak usia dini, sudah sepatutnya dapat menjamin terpenuhinya kebutuhan khusus tersebut.
7. Progsus Bagi Anak dengan Hambatan Penglihatan
Rangkuman
Sumber Utama: Dr.Murni Winarsih, M.Pd. 2019. Modul PPG Progam Studi Plb Konsep Dasar Hambatan Pendengaran. Kemendikbud.
Bagikan Artikel
Komentar
Posting Komentar