Identifikasi dan asesmen Hambatan Motorik /Tunadaksa
1). Identifikasi
a). Pengertian Identifikasi
Istilah identifikasi secara harfiah dapat diartikan sebagai proses menemukenali. Identifikasi merupakan suatu usaha untuk mengetahui rategi tindakan layanan pendidikan bagi anak yang bersangkutan.
Kegiatan identifikasi sifatnya masih seder hana, merupakan tahapan awal yang masih bersifat global/kasar dibandingkan dengan asesmen yang lebih rinci/ detail dan halus. Tujuan, alat, dan petugas antara identifikasi dan asesmen berbeda. Hal ini menyangkut kompetensi dan profesionalisme. Identifikasi lebih ditekankan pada menemukan dan mengenali (menemukenali) secara kasar apakah seorang anak tergolong mengalami hambatan motorik atau bukan.
Identifikasi Anak Dengan Hambatan Motorik dimaksudkan sebagai suatu upaya seseorang (orang tua, guru, maupun te naga kependidikan lainnya) untuk melakukan proses penyaringan terhadap Anak Dengan Hambatan Motorik dalam rangka pemberian layanan pendidikan yang sesuai. Setelah identifikasi langkah berikutnya adalah melakukan asesmen. Dalam istilah sehari-hari, identifikasi sering dimaknai sebagai penjaringan, sedangkan asesmen dimaknai sebagai penyaringan. Sesuai keperluanpembelajaran dan layanan khusus Anak Dengan Hambatan motorik dapat dilanjutkan kegiatan asesmen seperti asesmen akademik (baca, tulis, hitung), fisik dan motorik, komunikasi, perilaku (emosi dan sosial), menolong diri, dan asesmen lain yang dianggap perlu. Dengan asesmen akan diketahui kelemahan (kesulitan) dan kekuatan (potensi/kemampuan) anak dalam suatu hal, serta kebutuhan layanan khusus yang diperlukan.
b). Tujuan Identifikasi
Secara umum tujuan identifikasi adalah untuk untuk menghimpun informasi yang lengkap mengenai kondisi anak. Menghimpun informasi apakah seorang anak mengalami kelainan dalam tumbuhkembangannya dibandingkan dengan anak - anak lain seusianya (anak normal). Hasil identifikasi akan dijadikan dasar untuk penyusunan program pembelajaran sesuai dengan keadaan dan kebutuhannya . Kegiatan identifikasi Anak Dengan Hambatan Motorik secara khusus bertujuan untuk lima keperluan, yaitu: (1) penjaringan (screening), (2) pengalihtanganan (referal), (3) klasifikasi, (4) perencanaan pembelajaran, dan (5) pemantauan kemajuan belajar.
(1). Penjaringan (Screening)
Penjaringan dilakukan terhadap semua anak yang diduga mengalami hambatan motorik. Pada tahap ini identifiksi berfungsi menandai anak-anak mana yang menunjukkan gejala-gejala tertentu, kemudian menyimpulkan anak-anak mana yang mengalami gangguan.
(2). Pengalihtanganan (Referral)
Berdasarkan gejala-gejala yang ditemukan pada tahap penjaringan, selanjutnya anak-anak dapat dikelompokkan menjadi dua. Pertama, anak yang tidak perlu dirujuk ke ahli lain (tenaga profesional) dan dapat langsung ditangani sendiri oleh guru dalam bentuk layanan pembelajaran yang sesuai. Kedua, anak yang perlu dirujuk ke ahli lain terlebih dulu (referal) seperti psikolog, dokter, orthopedagog (ahli PLB), dan/atau therapis, baru kemudian ditangani oleh guru.
Proses perujukan anak oleh guru ke tenaga profesional lain untuk membantu mengatasi masalah anak yang bersangkutan disebut proses pengalih tanganan (referral). Pada sekolah penyelenggara pendidikan inklusi dapat meminta bantuan ke tenaga lain yang ada seperti Guru Pembimbing Khusus (Guru PLB).
(3). Klasifikasi
Apakah mereka yang telah dijaring (dirujuk) tersebut benar -benar bermasalah dalam belajar dan/atau perkembangan (memerlukan pelayanan khusus dalam belajar) atau tidakbertujuan untuk menentukan apakah anak yang telah dirujuk ke tenaga professional benar-benar bermasalah dalam hambatan motorik dan memerlukan penanganan lebih lanjut atau tidak. Apabila berdasar pemeriksaan tenaga professional ditemukan masalah yang perlu penanganan lebih lanjut (misalnya pengobatan, therapy, latihan -latihan khusus, dan sebagainya) maka guru tinggal mengkomunikasikan kepada orang tua siswa yang bersangkutan.
Jadi guru tidak memberi therapy siswa yang bersangkutan. Guru hanya akan membantu siswa dalam hal pemberian pelayanan pendidikan sesuai dengan kondisi dan kebutuhannya. Apabila tidak ditemukan tanda -tanda yang cukup kuat bahwa anak yang bersangkutan memerlukan penanganan lebih lanjut, maka anak dapat dikembalikan ke kelas semula untuk mendapatkan pelayanan pendidikan khusus.
Kegiatan klasifikasi ini memilah-milah mana Anak Dengan Hambatan Motorik yang memerlukan penanganan lebih lanjut dan mana yang langsung dapat mengikuti pelayanan pendidikan khusus di kelas reguler.
(4). Perencanaan Pembelajaran
Bertujuan untuk keperluan penyusunan program pengajaran individual (PPI) Pada tahap ini, kegiatan identifikasi bertujuan untuk keperluan pen yusunan program pembelajaran yang diindividualisasikan (PPI). Dasarnya adalah hasil dari klasifikasi. Setiap jenis dan gradasi (tingkat kelainan) anak dengan kebutuhan khusus memerlukan program pembelajaran yang berbeda satu s a ma lain. Mengenai program pembelajaran yang diindividualisasikan (PPI) akan dibahas secara khusus dalam buku yang lain tentang pembelajaran dalam pendidikan inklusi.
(5). Pemantauan Kemajuan Belajar
Kemajuan belajar perlu dipantau untuk mengetahui apakah program pembelajaran khusus yang diberikan berhasil atau tidak. jika dalam kurun waktu tertentu anak tidak mengalami kemajuan yang berarti, perlu ditinjau kembali beberapa aspek yang berkaitan. Kemajuan belajar perlu dipantau untuk mengetahui apakah program pembelajaran khusus yang dib erikan berhasil atau tidak. Apabila dalam kurun waktu tertentu anak tidak mengalami kemajuan yang signifikan (berarti), maka perlu ditinjau lagi beberapa aspek yang berkaitan. Misalnya apakah diagnosis yang kita buat tepat atau tidak, Program Pembelajaran Individual (PPI) yang kita susun sesuai atau tidak, bimbingan belajar khusus yang kita berikan sesuai atau tidak, dan seterusnya. Sebaliknya , apabila dengan program khusus yang diberikan, anak mengalami kemajuan yang cukup signifikan maka program tersebut perlu diteruskan sambil memperbaiki/menyempurnakan kekurangan-kekurangan yang ada.
Dengan lima tujuan khusus di atas, identifikasi perlu dilakukan secara terus menerus oleh guru, dan jika perlu dapat meminta bantuan dan/atau bekerja sama dengan tenaga professional terkait.
c). Sasaran Identifikasi
Secara umum sasaran identifikasi Anak Dengan Hambatan Motorik adalah seluruh anak usia pra-sekolah dan usia sekolah dasar. Sedangkan secara khusus (operasional), sasaran identifikasi adalah:
• Anak yang sudah bersekolah di Sekolah Dasar/Madrasah Ibtidaiyah;
• Anak yang akan masuk ke Sekolah Dasar/Madrasah Ibtidaiyah;
• Anak yang belum/tidak bersekolah karena orangtuanya merasa anaknya tergolong Anak Dengan Hambatan Motorik, sedangkan lokasi SLB jauh dari tempat tinggalnya; sementara itu, semua SD terdekat belum/tidak ma u menerimanya;
d). Pelaksanaan Identifikasi
Ada beberapa langkah dalam rangka pelaksanaan identifikasi Anak Dengan Hambatan Motorik. Untuk identifikasi anak usia sekolah yang belum bersekolah perlu melakukan pendataan ke masyarakat sekitar kerjasama dengan Kepala Desa/Lurah, RW, RT setempat. Jika dalam pendataan tersebut ditemukan anak Dengan Hambatan Motorik, maka proses berikutnya dapat dilakukan pembicaraan dengan orangtua, komite sekolah maupun perangkat desa/kelurahan setempat untuk mendapatkan tindak lanjutnya.
Untuk anak-anak yang sudah masuk dan menjadi siswa pada sekolah tertentu, identifikasi dilakukan dengan langkah-langkah sebagai berikut :
• Menghimpun data tentang anak
Pada tahap ini petugas (guru) menghimpun data kondisi seluruh siswa di kelas (berdasar gejala yang tampak pada siswa) dengan menggunakan alat identifikasi Anak Dengan Hambatan Motorik.
• Menganalisis data dan mengklasifikasi anak
Kegiatan ini bertujuan untuk menemukan Anak Dengan Hamba tan Motorik (yang memerlukan pelayanan pendidikan khusus). Pertama membuat daftar nama anak yang diindikasikan berkelainan sesuai dengan ciri-ciri dan standar nilai yang telah ditetapkan. Kemudian jika ada anak yang terindikasi kelainan sesuai dengan ketentuan tersebut, maka dimasukkan ke dalam daftar nama -nama anak yang terindikasi hambatan motorik. Sedangkan untuk anak -anak yang tidak terindikasi (tidak menunjukkan gejala), tidak perlu dimasukkan ke dalam daftar khusus tersebut.
• Mengadakan pertemuan konsultasi dengan kepala sekolah
Pada kegiatan ini, hasil analisis dan klasifikasi yang telah dibuat dilaporkan kepada Kepala Sekolah untuk mendapat saran -saran pemecahan atau tindak lanjutnya.
• Mengadakan pertemuan kasus (case conference)
Kegiatan ini hendaknya dikoordinasi oleh dengan Kepala Sekolah setelah data anak terhimpun dari seluruh kelas. Kepala Sekolah dapat melibatkan: (1) Kepala Sekolah sendiri; (2) Dewan Guru; (3) orang tua/wali siswa; (4) tenaga professional terkait, jika tersedia dan dimungkinkan; (5) Guru Pembimbing Khusus (Guru PLB) jika tersedia dan memungkinkan. Materi pertemuan kasus adalah membicarakan hasil identifikasi untuk mendapatkan tanggapan dan cara - cara pemecahan serta layanan pendidikan yang sesuai.
Setelah pertemuan kasus selesai dilakukan, kemudian disusun laporan hasil pertemuan tersebut. Tanggapan dan cara -cara pemecahan masalah, penanggulangan, dan layanan pendidikan yang sesuai perlu dirumuskan.
e). Tindak Lanjut
Kegiatan identifikasi anak dengan gangguan fisik dan motorik antara lain bertujuan untuk dapat memberikan pelayanan pendidikan yang sesuai.
2). Asesmen Anak Dengan Hambatan Motorik
a). Pengertian Assesmen
Asesmen adalah suatu kegiatan yang bertujuan mengumpulkan berbagai informasi tentang perkembangan anak, baik per kembangan dalam berbagai tugas perkembangan maupun perkembangan dibidang akademik. Informasi atau data perkembangan yang dikumpulkan meliputi kemampuan yang telah dikua sa i dan kesulitan yang dialami. Selain itu dikumpulkan juga data/informasi siswa yang diperlukan untuk tujuan pendidikan, misalnya informasi tentang kondisi fisik, motorik, emosi, sosial, intelektual, kemampuan akademik, komunikasi, latar keluarga dan lain-lain.
Semua data/informasi yang terkumpul akan digunakan untuk membuat keputusan-keputusan dalam rangka penyelenggaraan layanan pendidikan khusus. Paling tidak ada dua macam keputusan yang akan ditetapkan melalui proses asesmen yaitu,
1) keputusan legal, yaitu untuk mengetahui/menetapkan apakah seseorang termasuk anak gangguan fisik dan motorik atau bukan, dan
2) keputusan instruksional, yaitu untuk keperluan penentuan perencanaan dan pelaksanaan program pembelajaran khusus, rencana pembelajaran, strategi, media, evaluasi dan lain-lain.
Asesmen dilakukan dengan menggunakan cara, alat dan/ata u prosedur tertentu serta dilaksanakan dalam suatu tahapan yang teratur dari mulai perencanaan, pelaksanaan, penafsiran dan pemanfaatan hasil.
b). Tujuan Assesmen
Tujuan assesmen untuk Anak Dengan Hambatan Motorik adalah untuk mengenal dan memahami Anak Dengan Hambatan Motorik, termasuk tentang kemampua n dan tidak kemampuan anak baik fisik maupun mental dan lingkungannya.
c). Arah/Kegunaan Assesmen
Berdasarkan tujuan assesmen tersebut, selanjutnya hasilnya akan memiliki beberapa nilai manfaat bagi anak. Kegunaan hasil asesmen adalah:
• Sceening anak
• Klasifikasi atau penempatan anak
• Perencanaan program.
• Evaluasi program, dan
• Assesmen kemajuan individu anak.
Sudah barang tentu kegunaan hasil assesmen tersebut antara kegunaan satu dengan yang lainnya sangat sulit dipisah-pisahkan, kareana faktor informasi yang ada dan tujuan pelayanan serta saran -saran atau anak berkebutuhan khusus, yaitu mengurangi atau menghilangkan masalah yan diakibatkan oleh kecacatan , dan meningkatkan potensi seoptimal mungkin, sebagai bekal anak hidup bermasyarakat.
Kegunaan dari hasil assesmen Anak Dengan Hambatan Motorik antara lain adalah untuk :
• Pembuatan keputusan program penempatan pendidikan anak.
• Pembuatan keputusan program rehabilitasi anak
• Pengembangan program pengajaran individual anak
Arah dan kegunaan hasil assesmen adalah untuk usaha usaha preventif, kuratif dan evaluative serta pengembangan anak hambatan motorik. Masing -masing arah dan kegunaan hasil assesmen di atas, dibahas secara selintas sebagai berikut: Klasifikasi, Identifikasi dan Data Dasar Tentang Anak.
Kegiatan assesmen dimaksudkan sebagai upaya mengklasifikasi Anak Dengan Hambatan Motorik, artinya untuk mengkelompokkan bahwa anak tertentu walaupun ringan kecacatannya, namun termasuk hambatan motorik. Sebagaimana diketahui, bahwa ada beberapa kemiripan gejala Anak Dengan Hambatan Motorik. Dengan anak cacat jenis lainnya, bahkan dengan anak normal sekalipun. Misalnya anak Cerebral Palsy (CP) yang dibarengi oleh speech defect dan mentally retarded, maka anak CP tersebut nila tanpa diadakan assesmen system syaraf dan fungsi syarafnya, akan dikira termasuk klasifikasi anak mentally retarded atau tunawicara.
Kegiatan assesmen yang bermaksud untuk mengindentifikasi Anak Dengan Hambatan Motorik dalam hal ini mengarah pad a upaya mengenal identitas anak, keluarga dan karakteristik lain yang bergubungan dengan kemampuan dan ketidak-mampuan anak. Sedang kegiatan assesmen yang dimaksudkan sebaga i dasar, bahwa semua informasi dan data yang diperoleh dalam assesmen, dimaksudkan sebagai informasi dasar untuk membuat keputusan tindakan intervensi berikutnya, baik berupa upaya rujukan, assesmen lanjut yang lebih rinci oleh tenaga ahli, maupun program perlakuan tertentu untuk membantu aktualisasi potensianak.
Hasil assesmen yang bermanfaat sebagai data dasar anak, mencakup tentang:
• Identitas dan kondisi kemampuan dan ketidak-mampuan anak.
• Riwayat pertumbuhan dan perkembangan,
• Riwayat pendidikan
• Riwayat kesehatan
Pola hubungan anak dengan orangtua dan saudara serta lingkungan dimana
Anak Dengan Hambatan Motorik dibesarkan.
Dengan demikian data dasar Anak Dengan Hambatan Motorik yang diperlukan meliputi : identitas anak dan lingkungannya pada saat kini, data anak dan lingkungannya pada saat kemarin ( yang lalu), dan data anak pada masa yang akan datang.
Viola E.Cardwell, menjelaskan bahwa kejadian hambatan motorik khususnya cerebral palsy dipengaruhi oleh berbagai faktor yang dikelompokan dalam faktor “predisposing factors” (faktor yang mendahului), meliputi: Prematurity, Twin pregnancies, Excessive birth weight, Race, Sex, Age of mother, Complications of current pregnancy, dan Complications of previous pregnancy .
Faktor yang kedua adalah “precipitating factors” (faktor pemercepat terjadinya kecacatan). Faktor kedua ini menurut Viola E. Cardwell bisa terjadi saat: Prenatal, Paranatal factors, dan Postnatal factors. Anoksia fetus intrauterine karena kehamilan dengan hipertensi, ishkemia karena insufisiensi jantung, infeksi toksoplasmosis, radiasi sinar X, dsb adlah faktor -faktor yang terjadi saat paranatal. Infark serebri, pendarahan otak, infeksi, anoksia otak, dan sebagainya sebagai faktor-faktor postnatal.
Green LW menyatakan bahwa agar dapat memberikan intervensi kepada penyandang cacat lewat program-progarm yang akan dirancang, maka data yang lengkap tentang sasaran program intervensi (gangguan fisik dan motorik juga harus digali sedemikian rupa, termasuk didalamnya hal-hal yang termasuk dalam faktor yang mendahului, faktor pemungkin, dan faktor penguatnya (predisp o s ing faktors, enabling factors, and reinforcing faktors) terhadap terjadinya kecacatan anak.
Data dasar tersebut sangat penting, karena dengan informasi yang ada dapat untuk menentukan apakah seorang anak memerlukan perhatian khusus atau tidak. Anak Dengan Hambatan Motorik tertentu kadang juga dalam kondisi “hig h risk” untuk perkembangan masalah-masalah tertentu, sehingga akan sangat berpengaruh terhadap perkembangan anak dimasa yang akan datang.
d) Teknik-teknik Assesmen Anak Dengan Hambatan Motorik
Ada bermacam-macam teknik/metode assesmen yang dapat dijumpai dalam literature. Diantaranya yang ketengahkan oleh Delp & manning dalam bukunya Major’s Physical Diagnosis, bahwa sebelum diadakan intervensi tertentu, individu dapat diadakan kegiatan assesmen dengan metode /teknik tertentu , seperti
( 1 ) inspeksi,
(2) palpasi,
(3) perkusi,
(4) auskultasi,
(5) uji laboratorium.
Metode assesmen yang diketengahkan oleh Delp & Manning ini memang lebih tepat dibidang kedokteran, namun demikian penenangan Anak Dengan Hambatan Motorik, memang sangat sulit untuk dipisahkan dari dispilin ilmu kedokteran, terutama yang berhubungan dengan layanan rehabilitatif, seperti terapi fisik, terapi okupasi, terapi biacara, dsb.
Metode inspeksi merupakan kegiatan yang paling awal (yang biasa dilakukan oleh tenaga medis), yakni memeriksa secara lengkap di setiap daerah tubuh penderita/ pasien. Istilah lain dari metode ini adalah observasi atau pengamatan. Penggunaan metode inspeksi, termasuk di dalamnya untuk mengetahui bentuk tubuh, fungsi organ gerak tubuh seperti otot, tulang, persendian, dan sebagainya.
Metode palpasi, merupakan cara mengadakan assesmen yang agak lebih teliti dari pada metode pertama, dengan cara meraba di setiap daerah tubuh yang perlu diraba untuk mendapatkan informasi tertentu yang dip erlukan. Contoh menggunakan metode ini ada untuk mengetahui apakah seseorang ang berperawakan pendek (kretinism) memang mengalami defisiensi iodium atau tidak, dengan meraba kelenjar tiroid yang terletak dileher penderita, atau meraba tonus otot penderita untuk mengetahui kadar rigiditas/ kekakuan otot, dsb.
Metode perkusi, merupakan teknik assesmen yang dilakukan dengan cara mengetok-ngetok suatu daerah tubuh tertentu, untuk mendengarkan suara yang ditimbulkannya, merasakan tahanan yang dijumpai pada daerah tubuh teersebut. Apakah suara yang mereka timbulkan itu nyaring, redup, datar, atau timpani.
Metode auskultasi, merupakan tehnik assesmen dengan cara menangkap dan mengenali suara yang berasal dari berbagai oragan tubuh, dengan mendengarkan pada permukaan tubuh, baik yang dilakukan secara menempelkan terlinga ke permukaan tubuh atau dengan mempergunakan stetoskop.
Sedang metode pemeriksaan laboratorium merupakan cara assemen yang paling teliti dibanding dengan cara sebelumnya, karena lebih detail, misal nya
lewat tinja, urine, darah, dan sebagainya. Guna menentukan penyakit yang diderita seseorang. Metode pertama dan kedua, relative dapat dilakukan oleh seseorang yang bukan memiliki profesi medis, asal telah mendapatkan pelatihan sebelumnya.
Melihat kenyataan di lapangan, bahwa tehnik/metode assesmen yang digunakan untuk mengadakan penafsiran kemampuan Anak Dengan Hambatan Motorik berbeda-beda. Hal ini juga diakui oleh Wehman & Mc Laughlin dan Ronald L.Taylor, bahwa memang pemilihan metode assesmen sangat dipengaruhi oleh beberapa faktor, diantaranya
(1) Aspek/apa yang hendak diketahui informasi/datanya,
(2) dimana assesmen dapat dilakukan, dan
(3) siapa yang melakukan assesmen.
Akibat dari hambatan fisiknya Anak Dengan Hambatan Motorik memiliki hambatan aksesibilitas. Bagaimanakah dengan kebutuhan mereka dalam pembelajaran? apakah mereka juga mengalami hambatan? Apakah peserta didik Hambatan Motorik juga membutuhkan layanan pembelajaran yang khusus? Untuk lebih jelasnya silakan anda pelajari materi belajar berikut ini. Agar anda memiliki gambaran lebih jelas tentang dampak Hambatan Motorik maka perlu dipelajari uraian materi tentang Dampak Hambatan Motorik.
Sumber Utama : Dr. Irah Kasirah, M.Pd . 2019. Modul 5 PPG Progam Studi PLB, Pendidikan Anak Dengan Hambatan Motorik, Kemendikbud.
Bagikan Artikel
Komentar
Posting Komentar