Pengertian dan Bentuk Satuan Pendidikan Segregasi
A. Pengertian Pendidikan Segregasi
Secara etimologis istilah segregasi berasal dari kata segregate yang berarti memisahkan, memencilkan atau segregation yang diartikan pemisahan. Secara umum segregasi diartikan sebagai proses pemisahan suatu golongan dari golongan lainnya; atau pengasingan; atau juga pengucilan (Casmini, 2017). Pendidikan segregasi dalam konteks pendidikan khusus adalah suatu sistem pendidikan dimana sekolah penyelenggara pendidikan memisahkan peserta didik berkebutuhan khusus dari sistem persekolahan reguler. Di Indonesia bentuk sekolah segregasi ini berupa satuan pendidikan khusus atau Sekolah Luar Biasa sesuai dengan hambatan atau kelainan peserta didik. Berkaitan dengan Pendidikan Khusus, pendidikan segregasi adalah suatu system pendidikan bagi anak berkebutuhan khusus yang terpisah dari system pendidikan anak regular pada umumnya.
Sistem pendidikan segregasi merupakan ssstem layanan pendidikan bagi peserta didik berkebutuhan khusus tertua di ta nah air kita, bahkan berdiri sebelum Indonesia merdeka. Pemisahan yang terjadi bukan sekedar tempat/lokasi, tetapi mencakup keseluruhan program penyelenggaraannya. Layanan pendidikan semacam ini disebut layanan pendidikan bagi anak berkebutuhan khusus melalui pemisahan program penyelenggaraan pendidikan secara penuh dari program pendidikan anak-anak pada umumnya.
Munculnya istilah pendidikan segregasi sejalan dengan sikap, pandangan masyarakat terhadap anak berkebutuhan khusus pada saat itu, bahwa anak berkebutuhan khusus adalah anak-anak yang berbeda dalam banyak hal dibandingkan dengan anak-anak pada umumnya. Artinya ada perbedaan yang sangat mencolok, sehingga menimbulkan kekhawatiran/keraguan akan kemampuan anak-anak berkebutuhan khusus jika belajar se cara bersama-sama dengan anak normal pada umumnya. Oleh karena itu mereka harus mendapat layanan pendidikan secara khusus (terpisah dari yang normal). Maka timbulah pandangan bahwa konsep Pendidikan Luar Biasa saat itu identik dengan Sekolah Luar Biasa.
Selain sikap atau pandangan masyarakat dalam memisahkan pendidik a n a n ak , juga profesi para pendahulu yang peduli terhadap mereka. Jika kita melihat sejarah, para pendahulu penggagas pendidikan segregasi ini seperti Maria Montessori, Edward Seguin, dan Itar d, cara pandang mereka terhadap anak berkelainan seperti layaknya pasien. Cara pandang seperti itu cukup be r a las a n karena mereka merupakan akhli medis. Dengan profesi mereka, tentu saja pendekatan terhadap anak akan menggunakan pendekatan medis pula. Oleh karena itulah anak-anak berkelainan dianggap sebagai orang yang sakit. Dengan menganggap mereka sakit, maka pendekatan yang digunakan untuk mereka yaitu diagnosa. Setelah mereka didiagnosa maka akan muncul label penyakit. Dengan cara kerja seperti di atas, yang dibawa pada bidang pendidikan maka ditemukanlah anak tunanetra bagi anak dengan hambatan penglihatan, anak tunarungu bagi anak dengan hambatan pendengaran, dan anak tunagrahita bagi anak dengan hambatan intelektual, dan seterusnya. Dengan kata lain, adanya diagnosis memunculkan anak khusus (ALB), sekolah/tempat khusus (PL B) atau Special Education, layanan pendidikan khusus, sesuai dengan labelnya yang akhirnya memunculkan katagori-katagori anak. Sifat sekolah yang khusus in ila h yang kita sebut pendidikan segregasi. Jadi dalam pendidikan segregasi kebutuhan (needs) anak tidak dilihat secara individu.
Berdasarkan uraian di atas, maka dapat disimpulkan bahwa Pendidikan segregasi dalam konteks pendidikan khusus adalah sekolah yang memisah k a n anak berkebutuhan khusus dari sistem persekolahan reguler. Di Indonesia bentuk sekolah segregasi ini berupa satuan pendidikan khusus atau Sekolah Luar Biasa yang disesuaikan dengan jenis hambatan peserta didik.
B. Bentuk Satuan Pendidikan Segregasi
Mengacu pada Permendiknas No. 32 tahun 2008 pendidikan khusus berupa layanan pendidikan segregasi adalah sebutan untuk kelompok layanan pendidikan pada tingkat pendidikan prasekolah, dasar dan menengah yang menyelenggarakan pendidikan jalur formal bagi peserta didik berkebut uhan khusus karena kelainan fisik, emosional, mental, intelektual, sosial, dan/atau memiliki potensi kecerdasan dan bakat istimewa.
Bentuk satuan pendidikan khusus pada jalur formal terdiri atas Taman Kanak – kanak Luar Biasa/Raudatul Atfal Luar Biasa (TKLB/RALB), Sekolah Dasar Luar Biasa/Madrasah Ibtidaiyah Luar Biasa (SDLB/MILB), Sekolah Menengah Pertama Luar Biasa /Madrasah Tsanawiyah Luar Biasa (SMPLB/MTsLB), Sekolah Menengah Atas Luar Biasa /Madrasah Aliyah Luar Biasa (SMALB/MALB) dan/atau bentuk lain yang sederajat.
Bentuk satuan pendidikan segregasi bagi anak berkebutuhan khusus di Indonesia adalah Sekolah Luar Biasa (SLB). SLB tersebut pada awalnya didirikan oleh masyarakat hanya menampung dan melayani pendidikan untuk satu jenis ketunaan, misalnya Tunanetra saja, Tunarungu saja, dan seterusn ya , namun dalam perkembangannya sekarang SLB-SLB tersebut sudah banyak yang menampung dan melayani berbagai anak berkebutuhan khusus dari beberapa jenis ketunaan. Adapun jenis-jenis SLB berdasarkan jenis ketunaan ABK adalah sebagai berikut.
1. SLB untuk peserta didik Tunanetra
2. SLB untuk peserta didik Tunarungu
3. SLB untuk peserta didik Tunagrahita
4. SLB untuk peserta didik Tunadaksa
5. SLB untuk peserta didik Tunalaras
6. SLB untuk peserta didik Autistik
7. SLB untuk peserta didik Berkelainan Ganda
8. SLB untuk peserta didik dari beberapa jenis ketunaan
Dilihat dari jenjang pendidikannya, SLB – SLB tersebut ada yang mengelola satu jenjang dan ada yang lebih dari satu jenjang pendidikan di tingkat dasar dan menengah.
1. TKLB
2. SDLB
3. SMPLB
4. SMALB
Sebagian besar Anak Berkebutuhan Khusus (ABK) di Indonesia mendapatkan layanan pendidikan melalui system segregasi dalam bentuk SLB. Berdasarkan data rekapitulasi Pendidikan Nasional tahun 2019 sampai dengan jumlah satuan pendidikan segregasi (SLB) jalur formal di Indonesia mencapai 2246 sekolah.
Sumber Utama : Indra Jaya, M.Pd. dan Dr. Indina Tarjiah, M.Pd 2019. Modul PPG Progam Studi PLB. Kemendikbud
Bagikan Artikel
Komentar
Posting Komentar