UUD Negara RI Tahun 1945 sebagai Hukum Dasar
a. Proses Terbentuknya UUD Negara RI Tahun 1945
Persidangan BPUPKI yang kedua berlangsung antara 10 sampai 17 Juli 1945 untuk membahas penyusunan rancangan Undang-Undang Dasar. Pada tanggal 10 Juli 1945 dilakukan perumusan akhir isi dasar negara. Pada persidangan tersebut juga dibahas Rancangan Undang-Undang Dasar, termasuk soal pembukaannya/mukadimah. Pembahasan tersebut dilakukan oleh Panitia Perancang Undang-Undang Dasar yang diketuai oleh Ir. Soekarno. Kemudian, keesokan harinya, tanggal 11 Juli 1945, Panitia Perancang Undang-Undang Dasar dengan suara bulat menyetujui isi Pembukaan Undang-Undang Dasar diambil dari Piagam Jakarta.
Pada tanggal 14 Juli 1945 Panitia Perancang Undang-Undang Dasar melaporkan hasil kerjanya kepada seluruh anggota BPUPKI. Dalam kesempatan tersebut, Ir. Soekarno selaku Ketua Panitia melaporkan tiga hal yang dihasilkan oleh panitia, yaitu:
1) Pernyataan Indonesia Merdeka yang rumusannya diambil dari tiga alinea pertama Piagam Jakarta dengan sisipan yang panjang.
2) Pembukaan Undang-Undang Dasar yang rumusannya diambil dari seluruh isi Piagam Jakarta.
3) Undang-Undang Dasar beserta batang tubuhnya.
Seluruh anggota BPUPKI menerima dengan bulat hasil kerja dari Panitia Perancang Undang-Undang Dasar yang diketuai oleh Ir. Soekarno. Setelah berhasil menyusun rancangan Undang-Undang Dasar, maka selesailah tugas dari BPUPKI. Oleh karena itu, pada tanggal 7 Agustus 1945 badan tersebut dibubarkan. Kemudian, Pemerintah Jepang membentuk Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) atau Dokuritsu Zyunby Inkai. Untuk keperluan pembentukan panitia tersebut, pada tanggal 8 Agustus 1945, Ir Soekarno, Drs. Mohammad Hatta dan dr. Radjiman Wedyodiningrat berangkat ke Saigon untuk memenuhi panggilan Jenderal Besar Terauchi. Dalam pertemuan tersebut Ir. Soekarno diangkat sebagai Ketua PPKI, Drs. Mohammad Hatta sebagai wakil ketua dan dr. Radjiman Wedyodiningrat sebagai anggota. PPKI mulai bekerja pada tanggal 9 Agustus 1945. Anggota PPKI sendiri terdiri dari 21 Orang.
Setelah pertemuan di Saigon terjadi dua peristiwa yang sangat bersejarah dalam proses kemerdekaan Republik Indonesia. Pertama, tanggal 14 Agustus 1945 Jepang menyerah tanpa syarat. Kedua, pada tanggal 17 Agustus 1945 Indonesia memproklamirkan kemerdekaannya. Kemudian, pada tanggal 18 agustus 1945, PPKI bersidang dengan agenda utama mengesahkan rancangan Hukum Dasar dengan pembukaannya serta memilih Presiden dan Wakil Presiden.
Dalam proses pengesahan Preambul, terjadi proses yang cukup panjang. Sebelum mengesahkan Preambul, Mohammad Hatta terlebih dahulu mengemukakan bahwa pada tanggal 17 Agustus 1945 sore hari, sesaat setelah Proklamasi Kemerdekaan, ada utusan dari Indonesia bagian Timur yang menemuinya. Intinya, rakyat Indonesia bagian Timur mengusulkan agar pada alinea keempat preambul, di belakang kata “ketuhanan” yang berbunyi “dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya” dihapus. Jika tidak maka rakyat Indonesia bagian Timur lebih baik memisahkan diri dari negara RI yang baru saja diproklamasikan. Usul ini oleh Mohammad Hatta disampaikan kepada sidang pleno PPKI, khususnya kepada para anggota tokoh-tokoh Islam, antara lain kepada Ki Bagus Hadikusumo, KH. Wahid Hasyim dan Teuku Muh. Hasan. Mohammad Hatta berusaha meyakinkan tokoh-tokoh Islam, demi persatuan dan kesatuan bangsa.
Oleh karena pendekatan yang terus-menerus dan demi persatuan dan kesatuan, mengingat Indonesia baru saja merdeka, akhirnya tokoh-tokoh Islam itu merelakan dicoretnya “dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemelukpemeluknya” di belakang kata Ketuhanan dan diganti dengan “Yang Maha Esa”. Pada akhirnya semua anggota PPKI menyepakati rancangan Hukum Dasar beserta pembukaannya disahkan menjadi hukum dasar tertulis yang kemudian disebut Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang didalam pembukaannya terdapat sila-sila Pancasila.
UUD Negara RI Tahun 1945 haruslah dipahami tidak terpisah dari sistem nilai pancasila yang terkandung di dalamnya. Bahkan, di samping UUD 1945 dalam pengertian konstitusi tertulis, ada pula konstitusi dalam arti yang tidak tertulis dalam naskah UUD 1945, yaitu nilai-nilai yang tumbuh dalam kenyataan hidup bangsa, tercakup juga ke dalam pengertian konstitusi dalam pengertian luas. Oleh karena itu, dapat dikembangkan pengertian bahwa pancasila tidak dapat lagi dipisahkan dari UUD 1945 dan sistem ketatanegaraan Indonesia. Pancasila dan UUD 1945 dapat tumbuh (evolving) sesuai dengan kebutuhan zamannya, tetapi keduanya tetap tidak dapat dipisahkan satu sama lain. Untuk ini, penting dikembangkan pemahaman bahwa UUD 1945 ada roh, ‘the spirit’, yaitu Pancasila. Orang tidak dapat dan tidak boleh memahami pasal-pasal UUD 1945 terlepas dari rohnya atau dari spiritnya, yaitu kelima nilai Pancasila itu, sebaliknya, wacana tentang Pancasila sebaliknya juga tidak lagi dilihat dan dipandang secara berdiri sendiri tanpa penjabarannya dalam haluan-haluan negara (states policies) sebagaimana yang terkandung dalam pasal-pasal UUD 1945.
Pengesahan UUD 1945 dikukuhkan oleh Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP) yang bersidang pada tanggal 29 Agustus 1945. Naskah rancangan UUD 1945 Indonesia disusun pada masa Sidang Kedua Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan (BPUPKI). Nama Badan ini tanpa kata "Indonesia" karena hanya diperuntukkan untuk tanah Jawa saja. Di Sumatra ada BPUPKI untuk Sumatera. Masa Sidang Kedua tanggal 10 sampai dengan 17 Juli 1945. Tanggal 18 Agustus 1945, PPKI mengesahkan UUD 1945 sebagai Undang- Undang Dasar Republik Indonesia.
b. Periode Berlakunya UUD Negara RI Tahun 1945
1) Periode berlakunya UUD 1945 (18 Agustus 1945 - 27 Desember 1949)
Dalam kurun waktu 1945-1950, UUD 1945 tidak dapat dilaksanakan sepenuhnya karena Indonesia sedang disibukkan dengan perjuangan mempertahankan kemerdekaan. Maklumat Wakil Presiden Nomor X pada tanggal 16
Oktober 1945 memutuskan bahwa kekuasaan legislatif diserahkan kepada KNIP, karena MPR dan DPR belum terbentuk. Tanggal 14 November 1945, dibentuk Kabinet Semi-Presidensial ("Semi-Parlementer") yang pertama, sehingga peristiwa ini merupakan perubahan pertama dari sistem pemerintahan Indonesia terhadap UUD 1945.
2) Periode berlakunya Konstitusi RIS 1949 (27 Desember 1949 - 17 Agustus 1950)
Pada masa ini sistem pemerintahan Indonesia adalah parlementer. Bentuk pemerintahan dan bentuk negaranya federasi yaitu negara yang di dalamnya terdiri dari negara-negara bagian yang masing masing negara bagian memiliki kedaulatan sendiri untuk mengurus urusan dalam negerinya. Ini merupakan perubahan dari UUD 1945 yang mengamanatkan bahwa Indonesia adalah Negara Kesatuan.
3) Periode UUDS 1950 (17 Agustus 1950 - 5 Juli 1959)
Pada periode UUDS 1950 ini diberlakukan sistem Demokrasi Parlementer yang sering disebut Demokrasi Liberal. Pada periode ini pula kabinet selalu silih berganti, akibatnya pembangunan tidak berjalan lancar, masing-masing partai lebih memperhatikan kepentingan partai atau golongannya. Setelah negara RI dengan UUDS 1950 dan sistem Demokrasi Liberal yang dialami rakyat Indonesia selama hampir 9 tahun, maka rakyat Indonesia sadar bahwa UUDS 1950 dengan sistem Demokrasi Liberal tidak cocok, karena tidak sesuai dengan jiwa Pancasila dan UUD 1945. Beberapa aturan pokok itu mengatur bentuk negara, bentuk pemerintahan, pembagian kekuasaan, dan sistem pemerintahan Indonesia.
4) Periode kembalinya ke UUD 1945 (5 Juli 1959 - 1966)
Karena situasi politik pada Sidang Konstituante 1959 di mana banyak saling tarik ulur kepentingan partai politik sehingga gagal menghasilkan UUD baru, maka pada tanggal 5 Juli 1959, Presiden Soekarno mengeluarkan Dekrit Presiden yang salah satu isinya memberlakukan kembali UUD 1945 sebagai undang- undang dasar, menggantikan Undang-Undang Dasar Sementara 1950 yang berlaku pada waktu itu. Pada masa ini, terdapat berbagai penyimpangan UUD 1945, di antaranya:
a) Presiden mengangkat Ketua dan Wakil Ketua MPR/DPR dan MA serta Wakil Ketua DPA menjadi Menteri Negara
b) MPRS menetapkan Soekarno sebagai presiden seumur hidup
5) Periode UUD 1945 masa orde baru (11 Maret 1966 - 21 Mei 1998)
Pada masa Orde Baru (1966-1998), Pemerintah menyatakan akan menjalankan UUD 1945 dan Pancasila secara murni dan konsekuen. Pada masa Orde Baru, UUD 1945 juga menjadi konstitusi yang sangat "sakral", di antara melalui sejumlah peraturan:
a) Ketetapan MPR Nomor I/MPR/1983 yang menyatakan bahwa MPR berketetapan untuk mempertahankan UUD 1945, tidak berkehendak akan melakukan perubahan terhadapnya
b) Ketetapan MPR Nomor IV/MPR/1983 tentang Referendum yang antara lain menyatakan bahwa bila MPR berkehendak mengubah UUD 1945, terlebih dahulu harus minta pendapat rakyat melalui referendum.
c) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1985 tentang Referendum, yang merupakan pelaksanaan Ketetapan MPR Nomor IV/MPR/1983.
6) Periode 21 Mei 1998 - 19 Oktober 1999
Pada masa ini dikenal masa transisi. Yaitu masa sejak Presiden Soeharto digantikan oleh B.J.Habibie sampai dengan lepasnya Provinsi Timor Timur dari NKRI.
7) Periode Perubahan UUD 1945
Salah satu tuntutan Reformasi 1998 adalah dilakukannya perubahan (amendemen) terhadap UUD 1945. Latar belakang tuntutan perubahan UUD 1945 antara lain karena pada masa Orde Baru, kekuasaan tertinggi di tangan MPR (dan pada kenyataannya bukan di tangan rakyat), kekuasaan yang sangat besar pada Presiden, adanya pasal-pasal yang terlalu "luwes" (sehingga dapat menimbulkan multitafsir), serta kenyataan rumusan UUD 1945 tentang semangat penyelenggara negara yang belum cukup didukung ketentuan konstitusi.
Tujuan perubahan UUD 1945 waktu itu adalah menyempurnakan aturan dasar seperti tatanan negara, kedaulatan rakyat, HAM, pembagian kekuasaan, eksistensi negara demokrasi dan negara hukum, serta hal-hal lain yang sesuai dengan perkembangan aspirasi dan kebutuhan bangsa. Perubahan UUD 1945 dengan kesepakatan diantaranya tidak mengubah Pembukaan UUD 1945, tetap mempertahankan susunan kenegaraan (staat structuur) kesatuan atau selanjutnya lebih dikenal sebagai Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), serta mempertegas sistem pemerintahan presidensial.
Dalam kurun waktu 1999-2002, UUD 1945 mengalami 4 kali perubahan (amandemen) yang ditetapkan dalam Sidang Umum dan Sidang Tahunan MPR:
Bagikan Artikel
Komentar
Posting Komentar