Kerajaan-Kerajaan Bercorak Hindu Budha Di Indonesia
Sebelum pengaruh Hindu Budha masuk, masyarakat Indonesia tidak mengenal sistem kerajaan. Sistem pemerintahan yang ada pada waktu itu adalah pemerintahan desa yang dipimpin oleh kepala suku. Masuknya pengaruh Hindu Budhamenyebabkan sistem kesukuan diganti dengan kerajaan. Sejak abad IV masehi di Indonesia berdiri kerajaan bercorak Hindu dan Budha.Kerajaan bercorak Hindu di Indonesia antara lain: Kutai, Tarumanegara, Mataram Kuno ( Hindu Budha), Kediri, Singasari, Majapahit. Sedangkan kerajaan-kerajaan bercorak Budha di Indonesia antara lain: Kalingga, Sriwijaya.
a. Kerajaan Kutai
Penemuan 7 buah prasasti berbentuk yūpa di Kutai, berupa tugu peringatan bagi sebuah upacara kurban. Prasasti berhuruf pallawa yang menurut bentuk dan jenisnya berasal dari abad IV M, sedangkan bahasanya adalah sansekerta yang tersusun dalam bentuk syair. Semuanya dikeluarkan atas titah seorang raja bernama Mūlawarmman. Berdasarkan isi dari prasasti tersebut diketahui silsilah raja-raja Kutai. Dimulai dengan raja Kunduńga yang mempunyai anak bernama Aśwawarman, dan Mūlawarman. Prasasti ini menyebutkan bahwa pendiri keluarga kerajaan (vańśakrttā) adalah Aśwawarman, dan bukan Kundunga yang dianggap sebagai raja pertama. Kunduńga bukan nama sansekerta, mungkin ia seorang kepala suku penduduk asli yang belum terpengaruh kebudayaan India, sedangkan Aśwawarman adalah nama yang berbau India. Disebut pula nama Ańsuman yaitu dewa matahari di dalam agama Hindu yang dapat menunjukkan bahwa Mūlawarman adalah penganut agama Hindu (Sumadio, 1993).
Prasasti ini juga memberikan informasi;
(1) mengenai kehidupan masyarakat ketika itu, dimana ada golongan masyarakat yang menguasai bahasa Sansekerta yaitu kaum Brahmana (pendeta) yang mempunyai peran penting dalam memimpin upacara keagamaan.
(2) Setiap yūpa yang didirikan oleh Mūlawarmman sebagai peringatan bahwa ia telah memberikan korban besar- besaran dan hadiah-hadiah untuk kemakmuran negara dan rakyatnya. Sedangkan golongan lainnya adalah kaum ksatria yang terdiri atas kaum kerabat Mūlawarmman.
(3) Diluar kedua golongan ini adalah rakyat Kutai pada umumnya yang terdiri atas penduduk setempat, dan masih memegang teguh agama a sli leluhur mereka.
b. Kerajaan Tarumanegara
Kerajaan Tārumanāgara berkembang bersamaan dengan kerajaan Kutai pada abad V M, dan berlokasi di Jawa Barat dengan rajanya bernama Pūrņawarman. Keberadaan kerajaan Tārumanāgara dapat diketahui melalui 7 buah prasasti batu yang ditemukan di daerah Bogor, Jakarta, dan Banten. Prasastinya dikenal Ciaruteun, Jambu, Kebon Kopi, Tugu, Pasir Awi, Muara Cianten, dan Lebak. Prasasti ditulis dalam huruf Pallawa dan berbahasa Sanskerta yang digubah dalam bentuk syair.
Pada prasasti Ciaruteun terdapat lukisan 2 tapak kaki raja yang diterangkan seperti tapak kaki Wisnu. Prasasti Kebon Kopi terdapat gambar tapak kaki gajah sang raja yang disamakan sebagai tapak kaki gajah Airawata. Prasasti Tugu penggalian 2 sungai di Punjab yaitu Candrabhaga dan Gomati. Maksud pembuatan saluran pada sungai ini diperkirakan ada hubungannya dengan usaha mengatasi banjir (Poerbatjaraka, 1952).
Hal menarik yang dapat dipetik hikmah dari prasasti tugu adalah upaya pengendalian banjir yang memang menjadi perhatian khusus dari raja Purnawarman. Perhatian pengendalian banjir memberikan indikasi bahwa daerah ini sejak lama berpotensi banjir. Sikap masyarakat harus berdamai dengan situasi geografi dan sosial ini sehingga dapat mencari upaya positif menanggulangi untuk meminimalisir akibat yang ditimbulkannya.
Dalam prasasti Jambu dijumpai nama negara Tarumayam dan sungai Utsadana. Negara Tarumayam disamakan dengan Tarumanagara, sedangkan Utsadana identik dengan sungai Cisadane. Pada prasasti ini, Pūrņawarman disamakan dengan Indra sebagai dewa perang serta memiliki sifat sebagai dewa matahari. Di Cisadane juga ditemukan arca-arca rajasi dan disebutkan dalam prasasti Tugu yang mencerminkan sifat Wisnu-Surya.
Dari bukti tersebut dapat dikatakan bahwa Jawa Barat telah menjadi pusat seni dan agama, dan sesuai pula dengan berita Cina yang mengatakan bahwa pada abad VII M terdapat negara bernama To-lo-mo yang berarti Taruma. Dari peninggalan ini pila dapat diketahui bahwa agama yang dianut oleh para penguasa setempat adalah agama Hindu aliran Wisnu. Bahkan raja dianggap sebagai titisan dewa Wisnu yang memelihara kehidupan rakyat agar makmur dan tenteram.
c. Kerajaan Śrīwijaya
Kerajaan Sriwijaya berdiri sekitar abad ke VII Masehi. Pusat kerajaan mula -mula di Muara Takus kemudian dipindahkan ke Jambi dan akhirnya ke Palembang. Sumber sejarah kerajaan Sriwijaya berasal dari prasasti anatara lain: Prasasti Kedukan Bukit, Talang Tuo, Telaga Batu, Karang Berahi, Kota Kapur, Ligor dan Nalanda. Sedangkan berita Cina ditulis oleh I Tsing, dan berita dari Persia di tulis oleh Raihan al Biruni. Raja terkenal dari Sriwijaya bernama Balaputradewa.
Peranan kerajaan Sriwijaya anatara lain :
1) Sriwijaya sebagai kerajaan maritim
2) Sriwijaya sebagai pusat agama Budha
3) Sriwijaya sebagai pusat perdagangan di Asia Tenggara
Faktor pendukung majunya perdagangan di Sriwijaya :
1) Adanya pelabuhan-pelabuhan yang strategis di sepanjang selat Malaka.
2) Memiliki kapal-kapal dagang yang cukup.
3) Memiliki armada laut yang kuat
4) Memiliki hasil perdagangan seperti kapur barus, pala, dammar, cengkih, kayu cendana.
5) Adanya penguasaan laut yang cukup luas.
Pada abad ke XII sriwijaya mengalami kemunduran. Sebab-sebabnya adalah :
1) Serangan Dharmawangsa tahun 990 memperebutkan selat Malaka
2) Ekspedisi Pamalayu oleh Kertanegara dari Singosari 1275 M.
3) Serangan Kerajaan Colamandala 1025, 1030 M.
4) Serangan dari Majapahit 1377 M.
d. Kerajaan Mataram Hindu
Kerajaan Mataram Lama terletak di Jawa Tengahdengan ibukotanya Medang Kamulan. Sumber sejarah dari kerajaan Mataram dapat dilihat dari prasasti Canggal, Prasasti Kedu/Mantiyasih, Prasasti Kalasan, Parasasti Kelurak. Menurut prasasti Canggal, mula-mula Pulau Jawa diperintah oelh raja Sana, setelah ia meninggal digantikan Sanjaya.
Raja raja yang memerintah pada masa Kerajaan Mataram Hindu terdiri dari dua dinasti yaitu dinasti sanjaya dan dinasti sailendra. Pada masa pemerintahan Sanjaya inilah kerajaan Mataram mencapai puncaknya. Wangsa Sajaya memerintah Jawa tengah sebelah Utara. Adapun raja-raja yang memerintah yang ditulis pada prasasti Mantyasih antara lain :
1) Rakai Mataram Sang Ratu Sanjaya (732-760)
2) Rakai Panangkaran (760-780)
3) Rakai Panunggalan (780-800)
4) Rakai Warak (800-820)
5) Rakai Garung (820-840)
6) Rakai Pikatan (840-863)
7) Rakai Kayu wangi (863-882)
8) Rakai Watu Humalang
9) Rakai Watukura Dyah Balitung
10) Daksa
11) Tulodong
12) Wawa
Bangunan candi pada masa wangsa Sanjaya antara lain : Candi Sewu, Dieng, Kalasan, Prambanan. Sedangakan Wangsa Syailendra menganut agama Budha dan memerintah Jawa Tengah bagian Selatan. Raja-raja wangsa Syailendra antara lain:
1) Raja banu
2) Raja Wisnu (Sri Dharmatungga)
3) Raja Indra (Sri Sanggramadananjaya)
4) Raja Samaratungga
5) Raja Balaputradewa
Bangunan candi pada masa wangsa Syailendra antara lain : Candi Borobudur, Mendut, Pawon. Untuk menghindarai perpecahan antara wangsa Sanjaya dan wangsa Syailendra diadakanlah perkawinan politik antara Rakai Pikatan (wangsa Sanjaya) dengan Pramudawardani (kakak Balaputradewa dari wangsa Syailendra). Raja terakhir pada masa wangsa Sanjaya adalah raja Wawa yang kemudian digantukan olehj Mpu Sendok (wangsa Isyana) dan pusat pemerintahan dipindah dari Jawa Tengah ke Jawa Timur. Faktor-faktor penyebab pemindahan pusat pemerintahan ini adalah :
1) Adanya bencana alam
2) Letak kerajaan Mataram di Jawa Timur lebih strategis untuk perdagangan
3) Untuk menghindari serangan dari kerajaan Sriwijaya.
e. Kerajaan Kediri dan Jenggala
Tahun 1019 Airlangga dinobatkan menjadi raja Medang menggantikan Dharmawangsa. Airlangga memindahlan pusat pemerintahan dari Wutanmas ke Kahuripan. Selanjutnya sebagai pewaris tahta kerajaan selanjutnya adalah Sri Sanggrawijaya, namun ia tak mau menjadi raja. Untuk menghindarkan perebutan kekuasaan, kerajaan dipecah menjadi dua, yaitu kerajaan Jenggala (Kahuripan) dan kerajaan Kediri (Panjalu). Kedua kerajaan tersebut akhirnya kerajaan Kediri yang menonjol dengan ibukotanya Daha. Raja-raja yang memerintah kerajaan Kediri antara lain:
1) Raja Mapanji Garasakan
2) Raja Mapanji Alanjung (1052-1059)
3) Raja Sri Maharaja Samrotsama
4) Raja Baweswara (1116-1135)
5) Raja Sri Jayabaya (1135-1159)
6) Raja Sarweswara (1159-1169)
7) Raja Kameswara (1182-1185)
8) Raja Kertajaya (1185-1222)
Kerajaan Kediri mencapai puncak kejayaannya pada masa pemerintahan Jayabaya.
f. Kerajaan Singhasari
Pada masa akhir kerajaan Kadiri, daerah Tumapel merupakan suatu daerah yang dikepalai oleh seorang akuwu bernama Tunggul Ametung. Daerah Tumapel ini termasuk dalam daerah kekuasaan raja Krtajaya (Dandang Gendis) dari Daha (Kadiri). Kedudukan Tunggul Ametung menjadi akuwu Tumapel berakhir setelah dibunuh oleh Ken Arok, dan jandanya yang bernama Kendedes dikawininya. Ken Arok kemudian menjadi penguasa baru di Tumapel. Ken Arok pula yang kemudian menaklukkan Dandang Gendis dari Kadiri, dan kemudian menjadi Maharaja di Singhasari.
Munculnya tokoh Ken Arok ini kemudian menandai lahirnya wangsa baru yaitu Rajasawangsa atau Girindrawangsa. Wangsa inilah yang berkuasa di Singhasari dan Majapahit. Ken Arok memerintah Singhasar sejak 1222-1227 M dan tetap berkedudukan di Tumapel atau secara resmi disebut Kutaraja. Pemerintahan Rajasa berlangsung aman dan tentram.
Dari perkawinannya dengan Ken Dedes, Ken Arok memperoleh 4 orang anak, yaitu Mahesa Wonga Teleng, Panji Anabrang, Agnibhaya, dan Dewi Rimbu. Dari istrinya yang lain yaitu Ken Umang, Ken Arok mempunyai 4 orang anak yaitu Tohjoyo, Sudahtu, Wregola, dan Dewi Rambi. Pada tahu 1227 M Ken Arok dibunuh oleh seorang pengalasan dari Batil atas suruhan Anusapati, anak tirinya sebagai balas dendam terhadap pembunuhan ayahnya Tunggul Ametung. Dari kitab Pararaton diketahui bahwa Anusapati bukanlah anak dari Ken Dedes d an Ken Arok, tatapi anak Ken Dedes dari Tunggul Ametung. Ken Arok kemudian dicandikan di Kagenengan sebagai Siwa. (Nagarakretagama, XXXVI:1-2) dan di Usana sebagai Buddha (Sumadio, 1994).
Sepeninggal Ken Arok, Anusapati menjadi raja, memerintah tahun 1227-1248 M. Selama masa pemerintahannya itu tidak banyak yang diketahui. Tetapi juga Tohjaya hendak pula membalas dendam atas pembunuhan ayahnya, Ken Arok oleh Anusapati. Akhirnya pada tahun 1248 Anusapati dapat dibunuh oleh Tohjaya. Anusapati kemudian didharmakan1 di candi Kidal.
Dengan meninggalnya Anusapati, Tohjaya kemudian menggantikannya menjadi raja. Tohjaya hanya memerintah selama beberapa bulan dalam tahun 1248. Pada masa pemerintahannya terjadi pemberontakan yang dilakukan oleh orang - orang Rajasa dan Sinelir. Dalam penyerbuan itu Tohjaya luka parah dan diungsikan ke Katang Lumbang. Akhirnya ia meninggal dan dicandikan di Katang Lumbang. Pada tahun 1248 Ranggawuni dinobatkan menjadi raja dengan gelar Sri Jayawisnuwardana. Dalam menjalankan pemerintahannya ia didampingi oleh Mahisa Campaka, anak Mahisa Wonga Teleng (memerintah bersama bagai Wisnu dan Indra). Pada tahun 1255 M Wisnuwarddhana mengeluarkan sebuah prasasti untuk mengukuhkan desa Mula dan Malurung menjadi Sima. Di dalam prasasti tersebut ia disebut dengan nama Narayya Smining Rat. Sebelumnya, dalam tahun 1254 Wisnuwarddhana menobatkan anaknya Kertanagara sebagia
g. Kerajaan Majapahit
source: modul belajar mandiri pppk IPS Sejarah,Pembelajaran 2. Kehidupan Masyarakat Indonesia pada Masa Hindu-Budha dan Islam, Kemdikbud
Bagikan Artikel
Komentar
Posting Komentar