Metode Mengajar Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan
Metode mengajar penting untuk dikaji dan dipahami para guru sebab keberhasilan pembelajaran salah satunya ditentukan oleh metode mengajar. Artinya, metode mengajar merupakan faktor penentu keberhasilan pembelajaran.
Dilihat dari segi pedagogis dan filosofinya, metode yang tepat dalam pembelajaran Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan harus yang berorientasi pada misi Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan sebagai wahana pendidikan demokrasi dan pembangunan nilai atau karakter agar menjadi warga negara yang baik dan cerdas.
Dilihat dari sejarahnya, metode mengajar civics yang terkesan doktriner sehingga perlu adanya pencerahan atau perbaikan dengan berorientasi mengajarnya pada mendorongnya partisipasi peserta didik aktif, mempunyai sifat inquiry, dan pendekatan pemecahan masalah (Somantri, 1976). Metode tersebut secara terencana, dan terukur harus dilaksanakan di dalam proses pembelajaran civics sebagai upaya menghindari penyakit pembelajaran tradisional yang cenderung hafalan, isi buku yang sangat dipengaruhi oleh verbalisme, indoktrinasi, ground covering technique, dan yang sejenisnya adalah yang paling gampang, serta kurangnya kegiatan-kegiatan penulisan ilmiah mengenai metode menyebabkan penyebaran prinsip-prinsip metode yang tercantum dalam rencana pembelajaran akan sulit untuk dilaksanakan.
Secara teoritis terdapat ragam jenis model pembelajaran interaktif namun umumnya dapat dikelompokkan kedalam tiga rumpun, yaitu:
1) Model Berbagi Informasi
yang tujuannya menitikberatkan pada proses komunikasi dan diskusi melalui interaksi argumentatif yang sarat dengan penalaran. Termasuk kedalam rumpun ini adalah model orientasi, model sidang umum, model seminar, model konferensi kerja, model simposium, model forum, dan model panel;
2) Model belajar melalui pengalaman
yang tujuannya menitikberatkan pada proses pelibatan dalam situasi yang memberi implikasi perubahan perilaku yang sarat dengan nilai dan sikap sosial. Termasuk ke dalam rumpun ini adalah model simulasi, model bermain peran, model sajian situasi, model kelompok aplikasi, model sajian konflik, model sindikat, dan model kelompok T;
3) Model Pemecahan Masalah
yang tujuannya menitikberatkan pada proses pengkajian dan pemecahan masalah melalui interaksi dialogis dalam situasi yang sarat dengan penalaran induktif. Termasuk ke dalam rumpun ini adalah model curah pendapat, model riuh bicara, model diskusi bebas, model kelompok okupasi, model kelompok silang, model tutorial, model studi kasus, dan model lokakarya (Wuryan &Syaifullah, 2008:55).
Dalam proses pembelajaran civics atau pendidikan kewarganegaraan perlu dikembangkan sesuai dengan pendekatan field psychology yaitu strategi pembelajaran yang mengkombinasikan antara inkuiri dengan ekspositori. Melalui pendekatan inquiry peserta didik dapat termotivasi untuk belajar secara kontekstual sesuai dengan gejala-gejala /fenomena kewarganegaraan yang sedang terjadi yang kemudian guru bersama peserta didik mencari solusi atau jawabannya. Sedangkan dengan pendekatan ekspositori maka pembelajaran pendidikan kewarganegaraan lebih bermakna dengan penyampaian materi secara optimal melalui materi-materi yang faktual dan aktual.
Metode yang dianggap paling cocok untuk memfasilitasi keperluan strategi dan metode belajar Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan antara lain.
1) Metode inkuiri
digunakan untuk meningkatkan keterampilan berpikir kritis dan hasil belajar peserta didik. Metode tersebut merupakan rangkaian kegiatan pembelajaran yang menekankan pada proses berfikir kritis dan analisis untuk mencari dan menemukan sendiri jawaban dari suatu masalah yang dipertanyakan. Adapun langkah- langkahnya mencakup : perumusan masalah, perumusan hipotesis, konseptualisasi, pengumpulan data, pengujian dan analisis data, menguji hipotesis serta pada akhirnya akan memulai inkuiri lagi ((Wahab dan Sapriya, 2011).
2) Model pembelajaran berbasis portofolio (portofolio based learning).
Portofolio merupakan kumpulan informasi/data yang tersusun dengan baik yang menggambarkan rencana kelas peserta didik berkenaan dengan suatu isu kebijakan publik yang telah diputuskan untuk dikaji oleh mereka, baik dalam kelompok kecil maupun kelas secara keseluruhan. Portofolio kelas berisi bahan-bahan seperti pernyataan- pernyataan tertulis, peta grafik photography, dan karya seni asli. Bahan-bahan tersebut menggambarkan :
• Hal-hal yang telah dipelajari peserta didik berkenaan dengan suatu masalah yang dipilih ;
• Hal-hal yang telah dipelajari peserta didik berkenaan dengan alternatif-alternatif pemecahan terhadap masalah tsb ;
• Kebijakan publik yang telah dipilih atau dibuat peserta didik untuk mengatasi masalah tsb;
• Rencana tindakan yang telah dibuat peserta didik untuk digunakan dalam mengusahakan agar pemerintah menerima kebijakan yang mereka usulkan.
Pembelajaran berbasis portofolio mengajak peserta didik untuk bekerjasama dengan teman-temannya di kelas dan dengan bantuan guru agar tercapai tugas-tugas pembelajaran berikut.
1) Mengidentifikasi masalah yang akan dikaji ;
2) Mengumpulkan dan menilai informasi dari berbagai sumber berkenaan dengan masalah yang dikaji ;
3) Mengkaji pemecahan masalah ;
4) Membuat kebijakan publik ;
5) Membuat rencana tindakan.
Dalam usaha mencapai tugas-tugas pembelajaran ini ditempuh melalui 6 (enam) tahap kegiatan sebagai berikut.
Tahap I : Mengidentifikasi masalah kebijakan publik di masyarakat
Tahap II : Memilih satu masalah untuk kajian kelas
Tahap III : Mengumpulkan informasi tentang masalah yang akan dikaji oleh kelas
Tahap IV : Membuat portofolio kelas
Tahap V : Menyajikan portofolio
Tahap VI : Refleksi terhadap pengamatan belajar dalam pembelajaran berbasis portofolio dengan cara kelas dibagi dalam empat kelompok, dan setiap kelompok bertanggung jawab untuk membuat satu bagian portofolio kelas.
3) Pendekatan pembelajaran lainnya yang dapat digunakan adalah pendekatan kontekstual (Contextual Teaching and Learning/CTL)
yaitu konsep belajar yang membantu guru mengaitkan antara materi yang diajarkannya dengan situasi dunia nyata peserta didik dan mendorongnya untuk membuat hubungan antara pengetahuan yang dimilikinya dengan penerapannya dalam kehidupan mereka sebagai anggota keluarga dan masyarakat (Wuryan & Syaifullah, 2008 : 57). Dalam menerapkan pendekatan kontekstual untuk pembelajaran Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan diperlukan persiapan yang matang dengan langkah-langkah sebagai berikut :
• Kembangkan pemikiran bahwa peserta didik akan belajar lebih bermakna dengan cara bekerja sendiri, menemukan sendiri, dan mengkonstruksi sendiri pengetahuan dan keterampilannya.
• Laksanakan sejauh mungkin kegiatan inkuiri untuk semua topik/materi pembelajaran.
• Kembangkan rasa ingin tahu peserta didik dengan cara brainstorming/curah pendapat yaitu sebagai model pembelajaran dimana peserta didik dilatih untuk mencari dan menemukan gagasan-gagasan baru dan kemudian secara sistematis menentukan pemecahan terbaik atas suatu masalah. Brainstorming atau curah pendapat tersebut jika dilakukan dengan baik maka akan sangat mendukung terhadap pembentukan karakter warga negara global.
• Ciptakan komunitas belajar atau belajar dalam kelompok-kelompok.
• Hadirkan model sebagai contoh pembelajaran.
• Lakukan refleksi di akhir pertemuan, dan lakukan penilaian otentik dengan berbagai macam cara ataupun pola penilaian.
Pembelajaran dengan menggunakan pendekatan kontekstual sangat erat kaitannya dengan bahan pembelajaran yang disebut dengan informal content yaitu bahan pembelajaran yang diambil dari lingkungan kehidupan masyarakat.
4) Perkembangan teknologi informasi dan komunikasi yang sangat pesat menuntut sumber daya manusia cepat tanggap terhadap persaingan di era globalisasi khususnya dalam bidang pendidikan. Untuk menyelaraskan perkembangan teknologi dan komunikasi dalam bidang pendidikan dilakukan inovasi pembelajaran e-learning yang mengintegrasikan tekonologi dan komunikasi dalam pembelajaran. E- learning terdiri dari “e” singkatan dari “electronic” dan “learning” yaitu pembelajaran, e-learning merupakan media elektronik untuk mendukung dan memfasilitasi kegiatan pembelajaran.
Pada saat ini sedang hangat dibicarakan adalah pembelajaran campuran yang menggabungkan pembelajaran secara tatap muka dengan virtual (online) yang dikenal dengan istilah blended learning. Kekuatan dan kelebihan antara pembelajaran tatap muka dengan daring (online) tercampur menjadi pengalaman belajar yang unik sesuai dengan tujuan pendidikan.
Secara etimologi istilah “blended learning” terdiri dari dua kata yaitu “blended” yang berarti campuran, dan “learning” yang berarti pembelajaran. Blended learning mengandung makna pola pembelajaran yang mengandung unsur penggabungan antara pembelajaran tatap muka (di kelas) dengan online learning, antara guru dengan peserta didik mungkin saja berada di dua tempat yang berbeda, namun bisa saling memberi feedback, bertanya, dan menjawab.
Husamah (2013:16) mengemukakan karakteristik blended learning adalah sebagai berikut : 1) pembelajaran menggabungkan berbagai cara penyampaian, model pengajaran, gaya pembelajaran, serta berbagai media-media berbasis teknologi yang beragam; 2) sebagai sebuah kombinasi pengajaran langsung atau tatap muka (face-to-face), belajar mandiri dan belajar via online; 3) pengajaran dan orang tua
peserta didik memiliki peran yang sama penting, guru sebagai pengajar berperan fasilitator, dan orang tua sebagai pendukung.
Peserta didik melalui pembelajaran blended learning dapat mempelajari materi atau bahan belajar secara online tanpa batas ruang dan waktu. Guru juga dapat memantau peserta didik yang aktif dalam kegiatan belajar baik di dalam kelas maupun dengan menggunakan e-learning yang ada, dengan kuis online guru juga dapat mengevaluasi pemahaman peserta didik terhadap materi. Namun demikian blended learning juga memiliki kelemahan dalam pelaksanaannya antara lain :1) Media yang dibutuhkan sangat beragam, sehingga terkadang sulit diterapkan apabila sarana dan prasarana tidak mendukung; 2) Tidak meratanya fasilitas yang dimiliki peserta didik, seperti komputer dan akses internet. Hal tersebut akan menyulitkan peserta didik dalam mengikuti pembelajaran mandiri via daring ; 3) Kurangnya pengetahuan sumber daya pengajar (guru, peserta didik, dan orang tua) terhadap penggunaan teknologi (Husamah, 2013 : 17). Dengan demikian pada pembelajaran blended learning memerlukan ketersediaan sarana dan prasarana yang memadai dalam pelaksanaan pembelajarannya. Carman (2005) (https://edel.staff.unja.ac.id/blog/artikel/Pengertian- Blended-Learning.html) mengemukakan terdapat lima kunci untuk melaksanakan pembelajaran dengan menggunakan blended learning, yaitu.
• live event, pembelajaran langsung atau tatap muka (instructor-led instruction) secara sinkronous dalam waktu dan tempat yang sama (classroom) ataupun waktu yang sama tapi tempat berbeda (virtual classroom). Bagi beberapa orang tertentu, pola pembelajaran langsung seperti ini masih menjadi pola utama. Namun pola pembelajaran langsung ini perlu didesain sebaik mungkin agar bisa mencapai tujuan sesuai kebutuhan. Pola ini bisa saja mengkombinasikan teori behaviorisme, kognitivisme dan konstructivisme sehingga terjadi pembelajaran yang bermakna.
• self-paced learning, yaitu mengkombinasikan dengan pembelajaran mandiri (self-paced learning) yang memungkinkan peserta belajar kapan saja, dimana saja dengan menggunakan berbagai konten (bahan belajar) yang dirancang khusus untuk belajar mandiri baik yang bersifat text-based maupun multimedia-based (video, animasi, simulasi, gambar, audio, atau kombinasi dari semuanya). Bahan belajar tersebut, dalam konteks saat ini dapat disampaikan secara online (melalui web maupun mobile device dalam bentuk : streaming audio, streaming video, dan e-book) maupun offline (dalam bentuk CD, dan cetak).
• collaboration, mengkombinasikan guru dan peserta didik lintas sekolah, dalam bentuk-bentuk kolaborasi, misalnya kolaborasi teman sejawat, kolaborasi antar peserta didik dengan guru melalui tool-tool komunikasi yang memungkinkan seperti chatroom, forum diskusi, email, website/weblog, dan mobile phone. Tujuan kolaborasi diharapkan terjadinya konstruksi pengetahuan dan keterampilan melalui interaksi sosial baik dalam pendalaman materi, problem solving (problem based learning/PBL) dan project based learning (PjBL).
• assessment, guru harus mampu merancang kombinasi jenis penilaian yang bersifat tes maupun non-tes, atau penilaian otentik (portofolio).
• performance support materials, yakni sumber daya yang mendukung kegiatan pembelajaran blended learning, dari mulai bahan belajar dalam bentuk digital, kemudian kemudahan peserta didik untuk nmengakses bahan belajar (dalam bentuk CD, MP3 dan DVD) secara offline maupun online. Jika pembelajaran dibantu dengan learning management sistem (LMS) pastikan bahwa aplikasi sistem telah terinstal dengan baik dan mudah diakses.
Dari penjelasan di atas dapatlah disimpulkan bahwa penerapan blended learning di era globalisasi dapat diimplementasikan dengan fasilitas yang ada sehingga kegiatan belajar dapat dilakukan tanpa batas ruang dan waktu.
Bagi guru berbagai ragam jenis strategi, model dan metode pembelajaran harus diketahui dan dipahami untuk selanjutnya dapat diterapkan dengan baik. Namun tentu saja dalam penerapannya harus mempertimbangkan berbagai aspek, seperti kesiapan peserta didik, ketersediaan sarana dan prasarana, alokasi waktu dan lain sebagainya. Jika hal-hal tersebut diabaikan oleh guru, maka sudah dipastikan kegiatan pembelajaran tidak akan berhasil secara optimal, yang antara lain ditandai dengan tidak menggugah peserta didik untuk terlibat dalam proses pembelajaran sehingga potensi peserta didik tidak dapat diberdayakan dengan baik.
sumber : modul belajar mandiri pppk ppkn , Pembelajaran 2. Struktur, Metode dan Spirit Keilmuan Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan, kemdikbud
Bagikan Artikel
Komentar
Posting Komentar