Sejarah Sebagai Seni
Menurut Kuntowijoyo (1995: 67-70) kedudukan sejarah sebagai seni disebabkan alasan-alasan sebagai berikut.
a. Sejarah memerlukan intuisi
Apa
yang harus dikerjakan setiap langkah memerlukan kepandaian sejarawan
dalam memutuskan apa yang harus dilakukan. Sering terjadi untuk memilih
suatu penjelasan, bukan peralatan ilmu yang berjalan tetapi intuisi.
Dalam hal ini cara kerja sejarawan sama dengan seniman.
Sering
sejarawan merasa tidak lagi sanggup melanjutkan tulisannya, apabila
sejarah tersebut bersifat deskripsi atau penggambaran peristiwa. Dalam
keadaan tidak tahu itu sebenarnya yang diperlukan intuisi. Untuk
mendapatkan intuisi sejarawan harus kerja keras dengan data yang ada. Di
sinilah beda intuisi seorang sejarawan dengan seniman. Mungkin seniman
akan melamun, tetapi sejarawan harus tetap ingat akan data-datanya.
b. Sejarah memerlukan imajinasi
Dalam
pekerjaannya, sejarawan harus dapat membayangkan apa yang sebelumnya,
apa yang sedang terjadi, dan apa yang terjadi sesudah itu. Pikiran
sejarawan harus mampu menerobos masa silam, membayangkan peristiwa dan
kondisi yang mengiringinya dalam konteks jaman di mana peristiwa
terjadi. Tentu saja imajinasi sejarawan harus tetap berdasar pada
bukti-bukti, sehingga tidak terjebak dalam anakronisme.
c. Sejarah memerlukan emosi
Sejarawan
diharapkan menyatukan perasaan dengan objeknya. Sejarawan dapat
menghadirkan objeknya seolah-olah pembacanya mengalami sendiri peristiwa
itu. Akan tetapi, sejarawan harus tetap setia dengan fakta. Penulisan
sejarah yang melibatkan emosi sangat penting untuk pewarisan nilai.
Untuk keperluan ini, dalam sejarah dikenal historical thinking atau cara
berpikir historis, yaitu upaya menempatkan pikiran-pikiran pelaku
sejarah pada pikiran sejarawan. Historical thinking didasari bahwa
peristiwa sejarah mempunyai aspek luar dan aspek dalam. Aspek luar
peristiwa adalah bentuk dari peristiwa, seperti pemberontakan, perubahan
sosial, pelacuran, dan lain-lain. Sedangkan aspek dalam merupakan
pikiran-pikiran dari pelaku sejarah. Untuk dapat menjangkau
pikiran-pikiran ini dilakukan dengan percakapan imajiner. Tentu saja
sejarawan tidak boleh berbuat semuanya saja, harus tetap bertumpu pada
fakta sejarah. Dengan penerapan historical thinking diharapkan muncul
emosi kesejarahan.
d. Sejarah memerlukan gaya bahasa
Gaya
bahasa yang baik, tidak berarti gaya bahasa yang berbunga-bunga.
Kadang- kadang gaya bahasa yang lugas lebih menarik. Gaya yang
berbelit-belit dan tidak sistematis jelas merupakan bahasa yang jelek.
Akan tetapi perlu diingat, seperti dinyatakan Kuntowijoyo (1995: 11)
bahwa sejarah bukan sastra. Sejarah berbeda dengan sastra dalam hal: (1)
cara kerja, (2) kebenaran, (3) hasil keseluruhan, dan (4) kesimpulan.
Dari cara kerjanya, sastra adalah pekerjaan imajinasi yang lahir dari
kehidupan sebagaimana dimengerti oleh pengarangnya. Sedangkan sejarah
harus berusaha memberikan informasi selengkap-lengkapnya,
setuntas- tuntasnya, dan sejelas-jelasnya.
Bagikan Artikel
Komentar
Posting Komentar