Teater Modern Indonesia Masa Perintisan (1885 - 1925) :
Sejarah teater modern Indonesia secara historis
menurut Jakob Sumardjo (1992:101) Pada Masa Perintisan (1885 - 1925) terdiri dari:
a) Teater Bangsawan (1885-1902) ;
b) Teater Stamboel (1891-1906) ;
c) Teater Opera (1906 -1925).
Masa Perintisan (1885 - 1925) :
Masa perintisan teater modern Indonesia dimulai sejak masuknya pengaruh artistik Barat dalam panggung teater tradisional atau daerah hingga pada akhirnya bentuk pertunjukannya benar-benar mirip dengan teater Barat. Masa ini terdiri:
a) Teater Bangsawan (1885-1902)
Pada
tahun 1870-an di Penang Malaysia ada rombongan teater dari India dengan
bahasa India. Oleh penduduk Melayu setempat dinamai “Wayang Parsi.”
Bertahun-tahun bermain di Penang rombongan ini pulang ke negaranya.
Semua perlengkapan dibeli oleh seorang hartawan Mohamad Pushi. Pada
tahun 1885, Mamak Pushi dibantu menantunya, seniman Bai Kassim membentuk
rombongan Pushi Indera Bangsawan of Penang. Rombongan ini disambut,
diterima dengan baik oleh masyarakat Melayu di Malaysia, Singapura dan
Sumatera. Bahkan rombongan Pushi Indera Bangsawan of Penang sampai
pentas di Batavia. Di kota ini rombongan Mamak Pushi bubar semua alat
dibeli oleh Jaafar, yang dikenal sebagai ‘Si Orang Turki’ yang membentuk
rombongan Komidi Stamboel. Nama stamboel ini dari sebutan ibukota Turki
yakni Istamboel. Rombongan ini lebih banyak mementaskan cerita-cerita
dari Timur Tengah. Maka hadirlah rombongan kedua, teater bangsawan
Stamboel yang kemudian muncul di Surabaya pada tahun 1891 segera
mendapat sambutan masyarakat kota Jawa. Rintisan Jaafar berhasil
membangun sebuah publik penontonnya di Jawa.
b) Teater Stamboel (1891-1906)
Kegagalan
Pushi Indera Bangsawan of Penang dan rombongan Teater Stamboel tidak
hilang begitu saja. Di Indonesia sekitar tahun 1891, lahirlah rombongan
Komedi Stamboel, didirikan oleh August Mahieu (1860-1906). August Mahieu
seorang Indo-Perancis kelahiran Surabaya. Penyediaan modal rombongan
teater ini diberikan oleh Yap Goan Tay, seorang China-peranakan, dan
Cassim, Indonesiers seberang. Komedi Stamboel memperoleh sambutan hangat
penontonnya di Surabaya dan keliling pulau Jawa.
Repertoir yang
diplih Komedi Stamboel berasal dari Cerita 1001 Malam, seperti Aladin
Dengan Lampu Wasiat, Alibaba dengan 40 Penyamun, Hawa Majelis, Sinbad
Tukang Ikan, dan sebagainya. Untuk menghindari kejenuhan cerita Timur
Tengah dipentaskan pula cerita populer seperti Nyai Dasima, Oey
Tabahsia, Si Tjonat. Bahkan khasanah cerita Barat seperti Hamlet, Romeo
Juliet, Carmen, Satoe Saoedagar dari Vensia dan sebagainya. Aktivis
teater setelah Mahieu yakni Hoogreven, seorang China yang
berkewarganegaraan Belanda, Marietje Oort dan F. Cramer, seorang seniman
keroncong.
c) Teater Opera (1906 -1925)
Sementara penerus Mahieu terus berkiprah di masyarakat, di lingkungan masyarakat China-peranakan di Indonesia mulai muncul kegiatan teater.
Sekitar tahun 1908 dari lingkungan masyarakat China peranakan timbul “opera derma” atau Tjoe Tee Hie. Sebuah perkumpulan sosial China- peranakan di Weltervreden pada tahun 1908 mencari derma untuk perkumpulannya dengan pentas teater dan menghasilkan derma 10 ribu rupiah pada waktu itu. Sehingga “Opera Derma” mempertunjukkan cerita- cerita lama China dengan bahasa China-Betawi.
Opera derma yang masih amatir, pada tahun 1912 orang mulai menulis naskah untuk dimainkan. Naskah tersebut sebelum opera derma pentas sudah dijual agar penonton mempunyai pegangan untuk mengikuti jalan ceritanya. Naskah pertama yang diketemukan berjudul Tjerita Harta yang Berbahaja anonim diterbitkan oleh organisasi China di Tangerang. Kemudian disusul cerita lain Tjerita Satoe Iboe Tiri jang pintar adjar anak (1917), Khoe Tiong Ham (1920), Kam Pek San (1920). Semua berisi cerita dengan setting zamannya dan bertujuan dikdaktis.
Pertunjukan opera derma berbeda dengan komedi stambul, maka golongan terpelajar China mengecam pertunjukan yang bukan ‘seni’ atau ‘toneelkunst’. Diantaranya yang mengecam, Lauw Giok Lan dan Kwee Tek Hoay Lauw Giok Lan tertulis dalam pengantar buku dramanya Karina- Adinda, lelakon Komedi Hindia Timoer dalm tiga bagian (1913). Melihat kenyataan teater belum bermutu mereka berdua ingin menaikkan mutu agar menjadi teater yang “agak terpelajar” yakni main berdasarkan naskah, sehingga permainan lebih teratur, terencana dan rapih. Lauw Giok Lan menerjemahkan Victor Ido, Karina-Adinda dan Kwee Tek Hoay Lauw Giok Lan menyadur cerita pendek Oppenheim, The False Gods, menjadi Allah jang Palsoe.
Pada
tahun 1911, muncul rombongan opera profesional China Soei Ban Lian
pimpinan Sim Tek Bie. Istri Tek Bie, yakni Teng Poel Nio menjadi
primadona rombongan. Primdona ini pandai memainkan tokoh-tokoh lelaki
dalam certa-cerita klasik China sehingga digilai kaum uwa dan etjim,
sampai harta mereka ludes. Cerita yang dimainkan antara ain Sin Djn
Koei, Sam Pek Eng Tay, Ouw Peh Tjoa dan sebagainya.
source : modul PPPK Seni Teater
Bagikan Artikel
Komentar
Posting Komentar