Teks Naskah Lakon Teater : Tema, Latar, Penokohan, Struktur Dramatik
• Tema Cerita
Tema adalah gagasan dasar atau ide dasar. Tema menjadi landasan dalam sebuah lakon. Tema bersifat intrinsik, yaitu tidak terungkap secara tertulis dalam lakon. Tema menjadi warna dasar yang menggerakkan alur cerita dan mewarnai perwatakan tokoh. Ketika sebuah lakon ditulis, maka lakon tidak sekadar memaparkan alur cerita atau mengisahkan peristiwa yang dialami tokoh semata. Ada yang terselubung dalam sebuah lakon, yaitu gagasan sentral atau gagasan dasar.
Tema sering dihadirkan dalam bentuk pertikaian atau pertentangan antara yang baik dan yang buruk, karakter yang merusak dan karakter yang membangun. Tema mengandung nilai-nilai universal yang dapat dijadikan pelajaran bagi manusia. Tema berwujud kejahatan, kemunafikan, kebohongan, pengkhianatan, cinta-kasih, patriotisme, dan lain-lain. Setiap tema bisa menghasilkan cerita yang berbeda ketika diolah secara berbeda pula. Seorang pengarang menggagas tema yang sama, tetapi wujudnya dalam lakon pasti berbeda.
Tema adalah suatu amanat utama yang disampaikan oleh pengarang atau penulis melalui karangannya (Gorys Keraf, 1994). Tema bisa juga disebut muatan intelektual dalam sebuah permainan, ini mungkin bisa diuraikan sebagai keseluruhan pernyataan dalam sebuah permainan: topik, ide utama atau pesan, mungkin juga sebuah keadaan (Robert Cohen, 1983). Adhy Asmara (1983) menyebut tema sebagai premis yaitu rumusan intisari cerita sebagai landasan ideal dalam menentukan arah tujuan cerita. Dengan demikian bisa ditarik kesimpulan bahwa tema adalah ide dasar, gagasan atau pesan yang ada dalam naskah lakon dan ini menentukan arah jalannya cerita. Tema dalam naskah lakon ada yang secara jelas dikemukakan dan ada yang samar- samar atau tersirat. Tema sebuah lakon bisa tunggal dan bisa juga lebih dari satu. Tema dapat diketahui dengan dua cara :
• Apa yang diucapkan tokoh-tokohnya melalui dialog-dialog yang disampaikan.
• Apa yang dilakukan tokoh-tokohnya.
Dalam lakon-lakon pada masa Yunani, tema tentang kekuasaan dewa atas manusia menjadi tema sentral. Salah satu contohnya adalah lakon Oidipus Sang Raja karya Sophokles. Lakon ini, menyiratkan tema tentang manusia, yaitu Oidipus, yang tidak bisa menolak takdir Dewa. Ia ditakdirkan membunuh ayahnya dan mengawini ibunya. Tema seperti ini memiliki dimensi keserupaan dengan tema Sangkuriang.
Pada lakon-lakon realisme, dewa dipandang tidak lagi memiliki peran dalam kehidupan manusia. Tema-tema lakon realisme berpusat pada manusia sebagai makhluk rasional dan berakal yang dapat mengatasi segala permasalahan hidup yang dihadapi. Tema lakon-lakon realisme banyak membahas tentang hubungan manusia dengan manusia atau manusia dengan masyarakat. Tema realisme mengungkap watak manusia, seperti kemunafikan, perjuangan hidup, manusia yang melawan kemiskinan, atau pengkhianatan.
Lakon Matinya Pedagang Keliling karya Arthur Miller, misalnya, memiliki tema sentral ketidakberdayaan seorang pedagang keliling menghadapi perubahan zaman. Lakon tersebut menggambarkan seorang tokoh yang berjuang hidup di tengah-tengah modernisasi, sementara anak-anaknya juga gagal dalam menempuh kehidupan. Lakon Indonesia seperti Malam Jahanam karya Motinggo Busye mengungkapkan tema tentang kegagalan tokohnya, yaitu Mat Kontan dalam berumah tangga. Ia bersembunyi dalam kegagahannya dengan memiliki istri cantik, tetapi menyimpan hubungan yang tidak harmonis. Lakon-lakon Iwan Simatupang, misalnya Petang di Taman, berbeda. Lakon Iwan Simatupang banyak membicarakan tema eksistensi manusia. Manusia mencari hakikat keberadaannya dalam kehidupan. Tema ini menandakan pengaruh filsafat eksistensialisme dalam lakon Indonesia.
Tema-tema lebih beragam ada pada lakon-lakon Putu Wijaya, Arifin C. Noer, Rendra, N. Riantiarno dan lain-lain. Arifin C. Noer sering mengangkat tema kemiskinan manusia, miskin dari segi harta dan miskin secara rohaniah. Struktur sosial turut menentukan kemiskinan manusia, sementara manusia kehilangan pegangan pada Sang Pencipta. Manusia mencari pelarian dan mempertanyakan keberadaannya. Meskipun sama-sama mengangkat kemiskinan, lakon-lakon N. Riantiarno lebih mengungkapkan kritik-kritik sosial dalam menyikapi kehidupan. Penguasa dipandang turut menciptakan kemiskinan dan tak berpihak pada yang miskin.
Tema sangat menentukan keutuhan sebuah lakon. Berdasarkan tema peristiwa-peristiwa dipaparkan dan watak-watak tokoh dimunculkan. Tema dapat dipahami setelah membaca keseluruhan lakon dan menemukan gagasan dasar yang membangun lakon tersebut.
Tema adalah sesuatu yang menjiwai cerita atau sesuatu yang menjadi pokok masalah dalam cerita.Dalam tema tersirat amanat atau tujuan pengarang menulis cerita.Tema secara intrinsik berarti inti, esensi, atau pokok ide suatu cerita atau penceritaan. Contoh dalam naskah Upeti karya Heru Kesawa Murti membahas tentang pengorbanan-pengorbanan yang dilakukan oleh beberapa tokoh, mulai dari Mustajab, Palaran dan Hasrat. Pengorbanan yang dilakukan dalam pengusutan kasus uang hasil karcis retribusi dinas pendapatan wilayah ada yang membuahkan hasil dan malah menjadi sia-sia.
• Latar Cerita
Latar tempat adalah tempat yang menjadi latar peristiwa lakon itu terjadi. Peristiwa dalam lakon adalah peristiwa fiktif yang menjadi hasil rekaan penulis lakon. Menurut Aristoteles peristiwa dalam lakon adalah mimesis atau tiruan dari kehidupan manusia keseharian. Seperti diketahui bahwa sifat dari naskah lakon bisa berdiri sendiri sebagai bahan bacaan sastra, tetapi bisa sebagai bahan dasar dari pertunjukan. Sebagai bahan bacaan sastra, interpretasi tempat kejadian peristiwa ini terletak pada keterangan yang diberikan oleh penulis naskah lakon dan dalam imajinasi pembaca. Sedangkan sebagai bahan dasar pertunjukan, tempat peristiwa ini harus dikomunikasikan atau diceritakan oleh para pemeran sebagai komunikator kepada penonton.
Latar waktu adalah waktu yang menjadi latar belakang peristiwa, adegan, dan babak itu terjadi. Latar waktu terkadang sudah diberikan atau sudah diberi rambu-rambu oleh penulis lakon, tetapi banyak latar waktu ini tidak diberikan oleh penulis lakon. Tugas seorang sutradara dan pemeran ketika menghadapi sebuah naskah lakon adalah menginterprestasi latar waktu dalam lakon tersebut. Dengan menggetahui latar waktu yang terjadi pada maka semua pihak akan bisa mengerjakan lakon tersebut. Misalnya, penata artistik akan menata perabot dan mendekorasi pementasan sesuai dengan latar waktu.
Latar peristiwa adalah peristiwa yang melatari adegan itu terjadi dan bisa juga yang melatari lakon itu terjadi. Latar peristiwa ini bisa sebagai realita bisa juga fiktif yang menjadi imajinasi penulis lakon. Latar peristiwa yang nyata digunakan oleh penulis lakon untuk menggambar peristiwa yang terjadi secara nyata pada waktu itu sebagai dasar dari lakonnya. Misalnya, lakon Raja Lear, mungkin saja William Shakespeare terinspirasi oleh bencana yang melanda Inggris pada waktu itu, yaitu seolah-olah terjadi kiamat karena lakon ini dialegorikan sebagai kiamat kecil. Lakon-lakon dengan latar peristiwa yang riil juga terjadi pada lakonlakon di Indonesia pada tahun 1950 sampai tahun 1970. Lakon pada waktu itu mengambil latar peristiwa pada Zaman Perang Revolusi di Indonesia. Latar peristiwa pada adegan atau lakon adalah peristiwa yang mendahului adegan atau lakon tersebut, atau yang mengakibatkan adegan atau lakon itu terjadi.
• Penokohan
Penokohan merupakan usaha untuk membedakan peran satu dengan peran yang lain. Perbedaan-perbedaan peran ini diharapkan akan diidentifikasi oleh penonton. Jika proses identifikasi ini berhasil, maka perasaan penonton akan merasa terwakili oleh perasaan peran yang diidentifikasi tersebut. Suatu misal kita mengidentifisasi satu peran, berbarti kita telah mengadopsi pikiran- pikiran dan perasaan peran tersebut menjadi perasaan dan pikiran kita. Penokohan atau perwatakan dalam sebuah lakon memegang peranan yang sangat penting. Bahkan Lajos Egri berpendapat bahwa berperwatakanlah yang paling utama dalam lakon. Tanpa perwatakan tidak akan ada cerita, tanpa perwatakan tidak bakal ada plot. Padahal ketidaksamaan watak akan melahirkan pergeseran, tabrakan kepentingan, konflik yang akhirnya melahirkan cerita (A. Adjib Hamzah, 1985).
Sebuah lakon mengisahkan kehidupan tokoh. Tokoh pada umumnya adalah gambaran tentang manusia. Tokoh bisa pula berwujud binatang atau benda-benda. Akan tetapi, binatang dan benda-benda tersebut tetap menggambarkan karakter manusia. Dalam lakon Sandiwara Para Binatang, misalnya, tokohnya adalah Babi, Kuda, Anjing, Kambing, Kelinci, dan lain-lain. Binatang-binatang tersebut bukanlah binatang sebagaimana dijumpai dalam kehidupan nyata, tetapi binatang yang memiliki watak manusia.
Tokoh berbeda dengan penokohan. Jika tokoh adalah pelaku dalam peristiwa, sedangkan penokohan adalah bagaimana tokoh-tokoh tersebut digambarkan, dihadirkan, atau diwujudkan. Jadi pada prinsipnya penokohan terkait dengan cara pengarang menggambarkan tokoh dalam sebuah lakon.
Tokoh yang digambarkan dalam lakon bersifat rekaan. Tokoh itu tidak ada secara riil dalam realitas. Sebagai tokoh rekaan, kehadirannya tetap menggambarkan kompleksitas watak manusia.
Penokohan adalah pengkajian terhadap para tokoh yang ada di dalam naskah. Hal yang perlu diperhatikan ada tiga aspek, yaitu;
- Dimensi Fisiologis Tokoh
Dimensi fisiologis menyangkut aspek-aspek fisik tokoh, yaitu aspek- aspek yang secara kasat mata dapat dikenali melalui ciri-ciri fisiknya. Dimensi fisiologis meliputi jenis kelamin, usia tokoh, tinggi dan berat badan, warna kulit, warna rambut, warna mata, dan sebagainya. Dimensi fisiologis juga meliputi rupa dan sikap lahiriahnya, misalnya tampan-cantik, bersih, rapi, acak-acakan, dan sebagainya. Selain itu, ketidaksempurnaan fisik juga merupakan bagian dari dimensi fisiologis, misalnya buta, cacat tubuh, dan tanda-tanda tertentu yang dibawa sejak lahir.
Tokoh tersebut dilihat dari sudut pandang fisik atau apa saja yang terlihat oleh mata, contohnya adalah tinggi badan, berat badan, warna rambut, warna mata, bagaimana model rambutnya, apa pakaian yang ia kenakan dalam cerita, bentuk tubuhnya seperti apa, dan warna kulitnya.
- Dimensi Psikologis Tokoh
Dimensi psikologis tokoh dapat dianalisis melalui sudut pandang kejiwaan, watak, sifat kebiasaan yang berhubungan dengan tokoh seperti, bagaimana cara merokoknya, cara makanya, apa yang disukai oleh tokoh tersebut dan apa yang ia benci. Bagaiamana keseharianya, pemarahkah, perenungkah, atau tokoh tersebut adalah seorang yang pendiam.
- Dimensi Sosiologis Tokoh
Sudut pandang orang ketiga atau bagaimana tokoh tersebut dimata orang-orang sekitarnya, apa agamanya, apa pekerjaanya, bagaimana neraca keuangan keluarga tokoh tersebut, seberapa penting tokoh tersebut di mata masyarakat, seorang yang dituakan atau seorang yang taat agama, berasal dari suku mana, dan ras apa. Selain ciri – ciri di atas, terdapat juga peran tokoh dalam sebuah cerita. Peran adalah hal paten yang akan selalu ada di setiap
cerita pun demikian dengan naskah. Karakter dalam teks lakon dapat dibagi menjadi sebagai berikut;
a) Protagonis, tokoh utama yang membawa alur cerita. Tanpanya cerita akan menjadi selasai atau tak pernah terjadi di dalam cerita. Protagonis bisa memiliki sifat baik dan buruk.
b) Antagonis, tokoh yang membawa permasalahan dalam cerita dan peran yang menghambat apa yang dicita–citakan oleh tokoh protagonis. Bisa juga disebut musuh peran protagonis.
c) Tritagonis, tokoh penengah atau pelerai dalam pertikan peran protagonis dan antogonis. Termasuk dalam peran penting karena peran ini bisa menyelesaikan masalah saat hendak menutup sebuah pementasan.
d) Deutragonis, peran pembantu untuk peran protagonis. Dia adalah kawan dari protagonis dan membantu tokoh sagitarus.
e) Foil, bila deutragonis adalah peran pembantu untuk tokoh protagonis. Sedangakan foil adalah peran pembantu untuk peran antagonis.
Dalam menentukan casting pemain atau mencari pemeran yang pas dapat dilakukan beberapa hal, yaitu;
a) Casting by Fisiologis, pemilihan pemeran berdasarkan kecocokan antara fisik pemeran dan tokoh.
b) Casting by Sosiologis, pemilihan pemeran berdasarkan kecocokan antara watak dan tokoh sehari-hari.
c) Casting by Psicologis, pemilihan pemeran berdasarkan kecocokan pemeran dan tokoh dari dimensi psikologis.
d) Casting by Ability pemilihan pemeran berdasarkan kemampuan aktor tersebut memerankan tokoh yang ada di dalam naskah.
• Struktur Dramatik
Struktur dramatik sebetulnya merupakan bagian dari plot karena di dalamnya merupakan satu kesatuan peristiwa yang terdiri dari bagian-bagian yang memuat unsur-unsur plot. Rangkaian ini memiliki atau membentuk struktur dan saling bersinambung dari awal cerita sampai akhir. Fungsi dari struktur dramatik ini adalah sebagai perangkat untuk lebih dapat mengungkapkan pikiran pengarang dan melibatkan pikiran serta perasaan penonton ke dalam laku cerita. Teori dramatik Aristotelian memiliki elemen-elemen pembentuk struktur yang terdiri dari eksposisi (Introduction), komplikasi, klimaks, resolusi (falling action), dan kesimpulan (denoument).
a. Piramida Freytag
Gustav Freytag (1863), menggambarkan struktur dramatiknya mengikuti elemen-elemen tersebut dan menempatkannya dalam adegan- adegan lakon sesuai laku dramatik yang dikandungnya. Struktur Freytag ini dikenal dengan sebutan piramida Freytag atau Freytag’s pyramid (Setfanie Lethbridge dan Jarmila Mildorf, tanpa tahun) . Dalam piramida ini dijelaskan bahwa alur lakon dari awal sampai akhir melalui bagian-bagian tertentu yang dapat dijelaskan sebagai berikut;
- Eksposisi adalah penggambaran awal dari sebuah lakon. Berisi tentang perkenalan karakter, masalah yang akan digulirkan. Penonton diberi informasi atas masalah yang dialami atau konflik yang terjadi dalam karakter yang ada dalam naskah lakon.
- Complication ( rising Action), mulai terjadi kerumitan atau komplikasi yang diwujudkan menjadi jalinan peristiwa. Di sini sudah mulai dijelaskan laku karakter untuk mengatasi konflik dan tidak mudah untuk mengatasinya sehinga timbul frustasi, amukan, ketakutan, kemarahan. Konflik ini semakin rumit dan membuat karakterkarakter yang memiliki konflik semakin tertekan serta berusaha untuk keluar dari konflik tersebut.
- Klimak adalah puncak dari laku lakon dan titik kulminasi mencapai titik. Pada titik ini semua permasalahan akan terurai dan mendapatkan penjelasan melalui laku karakter maupun lewat dialog yang disampaikan oleh peran.
- Reversal adalah penurunan emosi lakon. Penurunan ini tidak saja berlaku bagi emosi lakon tapi juga untuk menurunkan emosi penonton. Dari awal emosi penonton sudah diajak naik dan dipermainkan. Falling Action ini juga berfungsi untuk memberi persiapan waktu pada penonton untuk merenungkan apa yang telah ditonton. Titik ini biasanya ditandai oleh semakin lambatnya emosi permainan, dan volume suara pemeran lebih bersifat menenangkan.
- Denoument adalah penyelesaian dari lakon tersebut, baik berakhir dengan bahagia maupun menderita.
b. Skema Hudson
Menurut Hudson (Wiliiam Henry Hudson) seperti yang dikutip oleh Yapi Tambayong dalam buku Dasar-dasar Dramaturgi (1982), plot dramatik tersusun menurut apa yang dinamakan dengan garis laku. Garis laku lakon dalam skema ini juga melalaui bagian-bagian tertentu yang dapat dijabarkan sebagai berikut;
- Eksposisi adalah saat memperkenalkan dan membeberkan materi-materi yang relevan dalam lakon tersebut. Materi-materi ini termasuk karakter- karakter yang ada, dimana terjadinya peristiwa tersebut, peristiwa apa yang sedang dihadapi oleh karakterkarakter yang ada dan lain-lain.
- Insiden Permulaan adalah mulai teridentifikasi insiden-insiden yang memicu konflik, baik yang dimunculkan oleh tokoh utama maupun tokoh pembantu.
- Pertumbuhan Laku, pada bagian ini merupakan tindak lanjut dari insiden- insiden yang teridentifikasi tersebut. Konflik-konflik yang terjadi antara karakter-karakter semakin menanjak, dan semakin mengalami komplikasi yang ruwet. Jalan keluar dari konflik tersebut terasa samar-samar dan tak menentu.
- Krisis atau titik balik, adalah keadaan dimana lakon berhenti pada satu titik yang sangat menegangkan atau menggelikan sehingga emosi penonton tidak bisa apa-apa. Bagi Hudson, klimaks adalah tangga yang menunjukkan laku yang menanjak ke titik balik, dan bukan titik balik itu sendiri. Sedangkan titik balik sudah menunjukan suatu peleraian dimana emosi lakon maupun emosi penonton sudah mulai menurun.
- Penyelesaian atau penurunan laku atau denoument yaitu bagian lakon yang merupakan tingkat penurunan emosi dan jalan keluar dari konflik tersebut sudah menemukan jalan keluarnya.
- Catastroph, dimana semua konflik yang terjadi dalam sebuah lakon bisa diakhiri, baik itu akhir sesuatu yang membahagiakan maupun akhir sesuatu yang menyedihkan.
c. Tensi Dramatik
Brander Mathews, seperti dikutip oleh Adhy Asmara dalam buku Apresiasi Drama (1983), menekankan pentingnya tensi dramatik. Perjalanan cerita satu lakon memiliki penekanan atau tegangan (tensi) sendiri dalam masing-masing bagiannya. Tegangan ini mengacu pada persoalan yang sedang dibicarakan atau dihadapi. Dengan mengatur nilai tegangan pada bagian-bagian lakon secara tepat maka efek dramatika yang dihasilkan akan semakin baik. Pengaturan tensi dramatik yang baik akan menghindarkan lakon dari situasi yang monoton dan menjemukan. Titik berat penekanan tegangan pada masing-masing bagian akan memberikan petunjuk laku yang jelas bagi aktor sehingga mereka tidak kehilangan intensitas dalam bermain dan dapat mengatur irama aksi.
- Eksposisi, adalah bagian awal atau pembukaan dari sebuah cerita yang memberikan gambaran, penjelasan dan keterangan-keterangan mengenai tokoh, masalah, waktu, dan tempat. Hal ini harus dijelaskan atau digambarkan kepada penonton agar penonton mengerti. Nilai tegangan dramatik pada bagian ini masih berjalan wajar-wajar saja. Tegangan menandakan kenaikan tetapi dalam batas wajar karena tujuannya adalah pengenalan seluruh tokoh dalam cerita dan kunci pembuka awalan persoalan.
- Penanjakan, adalah sebuah peristiwa atau aksi tokoh yang membangun penanjakan menuju konflik. Pada bagian ini, penekanan tegangan dramatik mulai dilakukan. Cerita sudah mau mengarah pada konflik sehingga emosi para tokoh pun harus mulai menyesuaikan. Penekanan tegangan ini terus berlanjut sampai menjelang komplikasi.
- Komplikasi atau penggawatan merupakan kelanjutan dari penanjakan. Pada bagian ini salah seorang tokoh mulai mengambil prakarsa untuk mencapai tujuan tertentu atau melawan satu keadaan yang menimpanya. Pada tahap komplikasi ini kesadaran akan adanya persoalan dan kehendak untuk bangkit melawan mulai dibangun. Penekanan tegangan dramatik mulai terasa karena seluruh tokoh berada dalam situasi yang tegang.
- Klimaks adalah nilai tertinggi dalam perhitungan tensi dramatik dimana penanjakan yang dibangun sejak awal mengalami puncaknya. Semua tokoh yang berlawanan bertemu di sini.
- Resolusi, adalah mempertemukan masalah-masalah yang diusung oleh para tokoh dengan tujuan untuk mendapatkan solusi atau pemecahan. Tensi dramatik mulai diturunkan. Semua pemain mulai mendapatkan titik terang dari segenap persoalan yang dihadapi.
- Konklusi, adalah tahap akhir dari peristiwa lakon biasanya para tokoh mendapatkan jawaban atas masalahnya. Pada tahap ini peristiwa lakon diakhiri. Meskipun begitu nilai tensi tidak kemudian nol tetapi paling tidak berada lebih tinggi dari bagian eksposisi karena pengaruh emosi atau tensi yang diperagakan pada bagian komplikasi dan klimaks.
source: modul Pembelajaran pppk Naskah Lakon Seni Teater
Bagikan Artikel
Komentar
Posting Komentar